Hari ini hari Jumat, seperti biasa toko sudah sepi dan pegawai lainnya telah pulang tepat waktu. Sementara aku sibuk membersihkan etalase kaca yang penuh dengan remah-remah roti. Meski pulangku selalu lebih terlambat, aku tetap senang mengerjakan tugasku. Aku suka aroma roti yang manis dan wangi, jadi bekerja di sini tidak akan membuatku mengeluh.
“Cring! Cring!!” suara lonceng di pintu berbunyi.
Aku bangkit berdiri dan hendak memberitahu pengunjung yang datang kalau toko sudah tutup.
“Maaf, toko ini sudah tutup. Jika ingin memesan roti, Anda harus datang lagi besok pagi.” Aku menyambut dengan sopan dan senyum lebar penuh penyesalan.
Wanita dengan gaun putih dan penampilan seperti peri ini balas tersenyum dan justru berkeliling mengamati seisi toko. Sepertinya dia tidak peduli soal roti, ada hal lain yang dicarinya dari tempat ini.
“Aku baru saja membuat muffin dengan rasa matcha! Ini tidak kalah enak lho…” Gabriel berujar dengan riang dari dapur.
Aku menoleh dan mendapati pria itu terpaku menatap si pengunjung wanita. Sedetik kemudian dia oleng, baik muffin maupun tubuhnya terjatuh ke lantai.
“Aku pasti sedang berhalusinasi dan butuh ke psikiater!” gumamnya dengan wajah cemas.
Lekas saja kuhampiri Gabriel dan menyadarkannya. “Kenapa, Gabriel? Kenapa kamu sangat kaget?” tanyaku tidak mengerti.
Sementara tamu wanita yang masih berdiri itu tergelak lembut dan mendekati kami. “Kenapa kamu kaget melihatku? Apa kamu tidak merasakan sesuatu saat bertemu denganku setelah sekian tahun?” tanyanya dengan suara yang sangat lembut.
Air mata Gabriel menetes. Pria itu menangis dan menutup matanya. Kemudian si wanita jelita ini memeluknya dan mengelus punggung Gabriel. Sementara Gabriel masih belum sanggup berbicara dan terus saja menangis.
Otakku baru memproses apa yang sedang terjadi sekarang. Melihat reaksi Gabriel yang seperti ini, sudah pasti si wanita adalah orang yang selalu ditunggunya selama bertahun-tahun.
Akhirnya, penantian panjang pria itu selesai. Kemunculan kekasihnya ini akan menghilangkan sepi serta patah hati Gabriel di malam-malam sebelumnya. Aku teringat sesuatu. Cincin dari Gabriel masih tersimpan di tasku dengan rapi. Tanpa banyak bicara aku memberikan cincin tersebut padanya.
Gabriel menatapku dengan heran, sementara wanita itu masih saja memeluk Gabriel tanpa mau melepasnya.
“Kamu masih membawanya?” tanyanya dengan raut wajah tidak percaya.
Aku mengangguk mantap. “Aku selalu membawanya dan tidak terduga saat ini tiba juga.”
“Tapi aku sudah memberikannya padamu.”
“Aku tidak bisa menerima benda itu. Di cincin itu sudah terukir tulisan dan yang pasti itu memang ditujukan untuk kalian berdua.” Aku berkata dengan senyum meyakinkan.
Gabriel dan pasangannya melepas pelukan mereka. Pria itu kemudian mengambil kotak cincin dari tanganku dengan ragu. Tangannya pun gemetar saat membuka kotak cincin dan mengarahkannya pada wanita tersebut. “Sicilia, aku ingin memberikan cincin ini sejak lama, dari sebelum kita menikah. Tapi aku tidak tahu apakah…”
Sicilia langsung memeluknya dan menangis tanpa menunggu kalimat Gabriel selesai. “Tentu aku akan menerimanya! Aku sudah sangat menantikan waktu ini! Aku bersumpah hanya akan menikah denganmu dan tidak merelakan kamu bersama wanita lain!”
Sicilia kembali melepas pelukannya dan menatap dalam mata Gabriel.
“Terima kasih karena telah setia menungguku…”
.
.
.