Jadi, sebenarnya tenggat waktu soal jodoh di sini bukanlah satu tahun. Aku mengambil kesimpulan demikian setelah melihat sendiri persatuan dua insan yang kukenal baik ini. Selang sebulan kemudian, Gabriel dan Sicilia menikah. Semua kerabat dan pegawai diundang. Suasana pernikahan mereka sangat menyenangkan meski tamu yang diundang tidak begitu banyak. Menurutku, pesta pernikahan seperti inilah yang menjadi idaman.
Tapi, bagaimana pun kasus mereka berbeda dengan kebanyakan orang. Mereka bisa tetap bersatu karena sudah mengetahui saling berjodoh. Sementara orang-orang lainnya, mereka tidak tahu menahu tentang jodohnya. Nah, berarti aku termasuk yang mana?
Kepalaku terus dipenuhi dengan teori tentang kota Darlingtown. Sebenarnya, aku sendiri tidak mengerti bagaimana bisa kota ini menjanjikan kita bertemu cinta sejati dalam waktu paling lambat satu tahun. Itu masih menjadi sebuah misteri. Atau bisa juga perkara cinta sejati ini adalah keajaiban kota Darlingtown.
Suara Angelica yang sedikit serak basah menyadarkanku dari pikiran tentang bagaimana cara memecahkan misteri kota ini. “Kamu mau mengaduk air jeruk nipismu sampai berapa lama? Kulihat kamu terus mengaduknya dari beberapa menit lalu.”
Oh iya, aku kan sedang membuat air dengan perasan jeruk nipis. “Ah iya, aku tidak sadar.” Sebenarnya malu juga melakukan hal bodoh seperti ini di depan Angelica.
Aku segera mengambil es batu dari freezer untuk menutupi kebodohanku tadi. “Kamu tidak pergi? Biasanya sore hari begini kamu selalu menghabiskan waktu di luar dengan temanmu, kan?” tanyaku heran.
Perempuan yang kuajak bicara itu mengambil minuman ringan dari kulkas dan meneguknya dengan cepat. “Hari ini Ferdinand sedang sibuk bekerja. Beberapa hari lagi baru dia luang sehingga kami bisa menghabiskan waktu bersama lagi.”
Oh iya, aku baru ingat kalau biasanya Angelica selalu menghabiskan waktu dengan seorang pria. Sekitar tiga bulan terakhir dia dekat dengan Ferdinand yang berprofesi sebagai dokter. Angelica pernah menceritakan kisah pertemuan mereka yang disebabkan sebuah kecelakaan kecil. Jadi, Angelica sakit perut karena salah makan sampai-sampai harus dirawat di rumah sakit. Di situlah awal mula pertemuan mereka. Seperti kisah klasik beberapa orang, Ferdinand-lah yang merawatnya dan dari sanalah mereka menjadi semakin akrab. Dari keakraban itu timbullah perasaan satu sama lain.
Aku tidak mengerti soal hubungan profesional yang harus diterapkan oleh dokter dengan pasiennya. Tetapi sepertinya mereka tidak segera mengesahkan hubungan karena ada kode etik tentang hubungan dokter dan pasien. Seandainya mereka harus menunggu waktu hingga beberapa tahun, bagiku itu sepadan. Mereka berdua sangat serasi, Ferdinand terlihat dewasa dan berpembawaan tenang sedangkan Angelica yang ceria dan santai dapat melengkapinya.
Sebelum dekat dengan Ferdinand, Angelica juga sempat dekat dengan beberapa pria lain. Tetapi tampak jelas dia sama sekali tidak berniat menjalin hubungan dengan mereka. Entah karena persoalan kualitas, atau hanya karena ketidakcocokan saja. Tapi aku penasaran bagaimana Angelica bisa memilih pria yang cocok untuknya.
“Angelica, kenapa kamu bisa sangat yakin akan hubunganmu dengan Ferdinand?” tanyaku seraya mulai menyesap minumanku.
Dia melipat kedua tangannya di dada dan menatap plafon. “Entah, aku sendiri tidak tahu bagaimana harus menggambarkannya dengan kata-kata. Tapi, saat kamu bertemu dengan orang yang tepat, kamu akan tahu. Seperti ketika kamu bersama dengannya, semua terasa benar. Keberadaan orang itu sendiri akan membuatmu selalu bersyukur telah hidup di dunia. Ah, aku juga merasa dia adalah salah satu sumber ketenangan dan tiba-tiba saja aku sudah jatuh untuknya.”
Kami saling terdiam. Namun Angelica tertawa tiba-tiba. “Lihat? Bahkan aku bisa menjadi puitis saat bercerita soal Ferdinand. Dia sungguh membuatku seolah bukan diriku sendiri.”
Perempuan itu membalik tubuh dan menuju kamarnya. Sebelum menutup pintu kamar, dia kembali berpesan padaku. “Setiap orang itu menemukan cinta sejatinya dengan cara yang berbeda-beda. Persepsi mereka tentang cinta sejati pun juga berbeda-beda. Kamu harus menemukan sendiri arti dari bertemu cinta sejatimu.”
Wah, seumur hidupku inilah kali pertama Angelica memberiku kata-kata mutiara seindah ini. Sepertinya itu memang salah satu ciri-ciri telah menemukan cinta sejati…
.
.
.
Litani tidak pernah seantusias ini terhadap hari Sabtu sebelumnya. Dia justru termasuk kaum yang selalu berdoa agar hujan turun di hari Sabtu yang cerah. Bahkan setiap berpapasan dengan pasangan yang berkencan di mal, dia akan mengutuk mereka dalam hati. Ya, dulunya dia sesinis itu pada kisah menye-menye orang lain. Tetapi hari ini berbeda. Dia akan menarik ucapannya tentang betapa menggelikannya orang-orang yang jatuh cinta itu. Ternyata rasanya seindah ini.
Gadis itu mengamati semua pakaian di lemarinya, berusaha mencari salah satu pakaian yang terlihat bagus namun simpel. “Aku menyesal menghabiskan uangku untuk beli novel daripada baju…” sesalnya seraya menghela napas.
“Aku harus tampil secantik mungkin tapi tetap terlihat natural. Konstanta nggak boleh tahu kalau aku berusaha keras untuk pertemuan hari ini.” Litani membatin dengan senyum lebar.
Sekian lama membongkar seluruh lemarinya, akhirnya Litani siap juga. Sekali lagi gadis itu mematut dirinya di cermin untuk memastikan tiada sejengkal pun terlihat buruk. Dia mengenakan kemeja hitam lengan pendek, celana kulot putih, serta sneaker dan tas tangan krem. Tidak lupa Litani menyapukan riasan tipis di wajah dan mencatok rambutnya agar match dengan penampilannya hari ini. Puas dengan penampilannya, dia menyambar tas laptopnya dan meninggalkan kamarnya.
“Mau ketemu cowok, ya?” tanya Yunus dengan senyum jahil ketika mereka bertemu di ruang makan.
“Mau diskusi soal novel sama editorku.” Litani menjawab dengan wajah datar.
“Diskusi atau kencan?” goda adiknya lagi.
“Diskusi, nak!” balas Litani dengan tidak sabar.
“Kalau gitu semoga diskusinya menyenangkan.” Yunus menyemangati kakaknya itu dengan senyum berarti.
Litani tidak memusingkan perkataan Yunus, setidaknya bocah itu akan tutup mulut soal urusan percintaannya. Selama dia tidak melaporkan dirinya pada orang tua mereka, itu bukan masalah besar.
***
Sudah sangat lama Litani tidak mengunjungi tempat tinggal laki-laki. Mungkin terakhir dia melakukannya adalah ketika SMA, itu pun dia tidak begitu ingat. Begitu sampai di gedung apartemen Graha Permai, ternyata Konstanta telah menunggunya di lobby. Mungkin karena mereka hanya bertemu di apartemen pria itu, maka Konstanta tidak berpenampilan se-wah biasanya. Sebenarnya hari ini Konstanta juga terlihat tampan, tetapi rambutnya yang dibiarkan tampil polos tanpa gel membuatnya terlihat berbeda. Meski dia hanya memakai kaos oblong putih dan celana training hitam, pria itu tetap tampan luar biasa.
Mereka menaiki lift dan Konstanta menekan nomor 20, lantai teratas apartemen ini.
“Seharusnya kamu nggak perlu memakai baju formal, toh ini kita hanya bertemu di apartemenku. Aku malah berencana pakai singlet dan celana pendek.” Konstanta blak-blakan berujar seraya mengamati Litani dari ujung kepala hingga kaki.