Kalenderku sudah kutandai dan hari ini aku mengaku kalah. Sepertinya memang aku belum layak bertemu jodohku. Bahkan mungkin saja jodohku belum lahir. Yang pasti masa waktu tinggal di tempat ini sudah habis. Dalam satu hari, tidak mungkin tiba-tiba saja jodohku datang, kan?
Aku berencana kembali ke kota kelahiranku dan tinggal di sana selamanya. Setelah mengatur urusan untuk pulang dan sebagainya, aku mantap menunggu di bandara. Ketika memutuskan resign dari Honeyxx, sebenarnya Gabriel banyak menanyakan alasanku.
“Kenapa kamu hendak keluar dari sini?” tanya pria itu dua hari lalu.
“Aku ingin kembali pulang ke kota asalku. Sebenarnya tujuanku pindah ke sini hanyalah karena ingin menemukan jodoh.”
Raut wajah Gabriel terlihat heran. “Lalu karena kamu tidak menemukan jodohmu, maka kamu hendak kembali?” tanyanya lagi.
Sebenarnya selain karena itu, aku ingin kembali karena ada seseorang yang dapat menemaniku di sana. Di kota ini aku masih merasa asing. Sementara, di sana aku memiliki seseorang yang membuatku merasakan rumah yang sesungguhnya.
“Bukan itu sepenuhnya alasanku. Ada alasan yang lain…”
Aku ingat itulah kali pertama aku dapat tersenyum dengan tulus ketika menceritakan tentang kota kelahiranku. Ternyata tidak seburuk itu.
Masa bodoh tentang jodoh yang belum lahir dan apa pun. Yang terpenting sekarang adalah aku kembali. Kota ini sangat indah dan menyenangkan, tetapi tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding bersama dengan orang yang disayangi.
Aku sengaja kembali ke kota Cherie tanpa memberitahu Erik. Aku ingin memberinya kejutan. Dia masih tinggal di rumah lamanya dan aku akan langsung berkunjung ke rumahnya. Lagipula seminggu ini dia tidak dapat dihubungi, mungkin karena sibuk.
Kembali ke saat ini, aku memandang sekitar sembari menunggu panggilan untuk boarding. Sebentar lagi aku akan meninggalkan kota yang katanya ajaib ini. Aku akan sangat merindukan semua yang ada di sini seperti para rekan kerja, Gabriel, dan Angelica. Bagaimana pun mereka telah membuat hari-hariku berwarna di sini. Entah kapan aku dapat bertemu dengan mereka lagi.
Kupandang lantai bandara yang terbuat dari granit dan menghela napas panjang. Oke, di mana pun jodohku berada, aku akan mendoakanmu selalu berbahagia.
“Kamu berangkat ke kota ini dalam keadaan gembira, jadi ketika pulang dari sini juga harus dalam keadaan gembira…”
Aku tidak menduga akan mendengar suara ini sekarang. Memastikan semua ini bukan halusinasi maka kuberbalik dan menemukan pria ini sungguh sedang berdiri di belakangku.
“Erik…”
.
.
.
Gadis itu merasa senang beberapa hari terakhir. Naskahnya dapat digarap dengan lancar, tugas kuliahnya pun juga dalam keadaan yang dapat diselesaikan dengan baik. Semua hal yang berada dalam kendalinya tersebut membuatnya puas. Kalau dalam beberapa minggu dia bisa konsisten dengan kinerjanya yang seperti ini, novelnya dapat rampung lebih cepat. Meski sudah menerbitkan beberapa novel, dia tetap merasa bahagia begitu menyelesaikan novel seakan baru melahirkan bayi.
Usai mengetik beberapa halaman novel dan menyelesaikan tugas kuliahnya, Litani merenggangkan tubuhnya dan menguap. Dia memeriksa ponselnya, jam masih menunjukkan pukul setengah lima sore. Masih sempat untuk jalan-jalan ke mal, lagipula dia butuh refreshing selepas mengamati layar laptopnya selama beberapa jam. Dia butuh cuci mata di mal atau toko roti di sana.