Aku masih tercekat dan tidak menyangka bahwa Erik sungguh berdiri di depanku. Entah ini memang dia bertambah tampan atau mataku yang semakin menua. Dia berdiri di hadapanku dengan kemeja putih dan rambut yang ditata rapi, tidak lupa dengan senyum cerahnya, membuatku tidak dapat berkata-kata.
Erik mengamati sekitar dan membuang napas kecewa. “Kukira bandara Darlingtown akan terlihat berbeda dari kota lainnya, ternyata sama saja.”
Pandangan mataku memburam, tanpa membuang waktu lagi aku langsung melompat dan memeluk Erik dengan erat. Aku takut semua ini hanya mimpi dan ternyata yang di depanku ini bukan Erik. Tapi pria itu balas memelukku dan menyadarkan bahwa semua ini sungguh terjadi. Tangisku pun semakin menjadi.
“Kenapa kamu menangis? Apa ada hal yang terjadi selama aku tidak menemanimu??” tanya Erik dengan lembut.
Ah, kenapa saat ini Erik terlihat sangat jantan? Padahal aku jarang melihatnya sebagai seorang pria. Tapi, bagaimana pun aku rindu!
Sekarang kami sudah melepas pelukan dan aku menyeka air mataku sebelum menatap wajahnya. “Aku tidak menyangka bahwa kamu akan datang ke sini, padahal sebelumnya aku berencana kembali ke Cherie. Apa yang membuatmu tiba-tiba ke sini? Apa ini sebabnya kamu tidak bisa dihubungi sama sekali?” tanyaku bertubi-tubi.
“Ya, sangat banyak hal harus kubereskan di sana. Aku tidak mungkin meninggalkan usaha yang baru berjalan di awal tahun kemarin, kan? Sebenarnya aku ingin ikut pindah ke sini pada awalnya, tapi karena banyak urusan aku tidak bisa ikut.”
Aku memukul pelan pundaknya. “Kalau kamu ingin ikut kenapa kamu menghinaku dulu? Bahkan kamu mengataiku kekanakan karena percaya dengan takhayul.”
Erik meringis, “Apa yang kukatakan tidak salah juga toh. Aku ingin menemanimu dan membuktikan bahwa yang kamu percayai hanyalah takhayul.”
“Ya sudahlah, aku tidak ingin berdebat denganmu di saat seperti ini.” Aku mengalihkan pandangan pada koper kecil yang dibawa Erik. “Apa kamu sungguh akan pindah ke sini? Bawaanmu tidak begitu banyak.”
Erik ikut memandang kopernya. “Mungkin hanya beberapa hari, sebenarnya tujuanku kemari adalah untuk menjemputmu.”
“Menjemputku untuk apa?” tanyaku tidak mengerti.
Pria itu menunduk dan menghela napas panjang kemudian bergerak gugup. Aneh sekali dia bisa terlihat salah tingkah begini. Seperti hendak mengatakan sesuatu saja. Oh, atau jangan-jangan…?
“Aku tahu ini terlalu mendadak dan mungkin kamu sama sekali tidak akan menduga. Tapi, Oliv, aku harus mengatakan ini padamu…”
Aku masih menunggu kalimat lanjutan dari Erik.
“Oliv, aku sangat mencintaimu. Aku datang kemari, karena aku ingin mengajakmu berumah tangga. Jadi, bolehkah aku menjadi suamimu?”
.
.
.