Hari ini tiba juga. Saat ini, Litani duduk di hadapan Konstanta dengan tegang. Pria itu membaca naskahnya dengan wajah serius dan dahi berkerut. Berkali-kali pria itu berhenti sejenak untuk menghela napas dan kembali membaca hingga selesai. Setiap kali Konstanta mengambil jeda untuk meminum kopinya, Litani menahan napasnya. Apakah tulisannya sejelek itu sampai-sampai Konstanta membutuhkan ekstra kopi untuk menjaganya tetap konsentrasi? Bahkan, pria berkemeja putih tersebut sudah menghabiskan dua cangkir kopi di hadapan Litani. Bagaimana bisa asam lambung pria ini kuat dicekoki kopi beberapa cangkir?
“Aku sangat kagum kamu dapat menyelesaikan naskahmu hingga akhir.” Konstanta berujar demikian setelah hampir satu jam mereka tidak mengobrol sama sekali. “Tapi, setelah membaca ceritamu ini, aku merasa sangat banyak sekali yang menggangguku. Entah dari caramu menulis, ceritamu yang terkadang nggak masuk akal, dan masih banyak lagi yang miss di sini.”
Pria itu kembali menarik napas dengan berat. “Aku nggak pernah mau ikut campur urusanmu. Tapi kalau sampai mengganggu performa tulisanmu seperti ini, sepertinya ini pertanda kamu butuh bantuan. Jadi, sebenarnya ada apa denganmu? Apa kamu memiliki masalah yang sangat mengganggu?” tanyanya dengan pandangan mata dalam.
Ditatap seperti itu membuat Litani semakin gugup sehingga dia menghindari tatapan pria itu. “Nggak ada apa-apa kok, Kak. Mungkin ini hanya titik jenuhku dan aku akan berusaha mengatasinya.”
Konstanta menatap Litani dengan tatapan tajam sampai dia mengembuskan napas dengan lelah. “Kalau kamu nggak mau mengatakannya padaku, ya sudah. Aku juga nggak dapat melakukan apa pun untuk membantumu.”
“Baiklah, aku nggak akan bertanya lagi. Mungkin ini akan menjadi bantuan terakhirku. Sejujurnya, aku mulai menyerah untuk menjadi editormu kalau kamu sendiri nggak kooperatif seperti ini. Aku sendiri punya banyak tugas dan penulis yang kutangani bukan hanya kamu. Maaf kalau ternyata aku kurang sabar dalam bekerja sama denganmu. Tapi di luar urusan pekerjaan, kita masih bisa berteman, kok.” Konstanta berbicara dengan tenang sembari menyodorkan naskah Litani.
Gadis itu menerima naskahnya sembari menundukkan kepala dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. Mulutnya terasa kelu, akhirnya tangisan lolos juga dari bibirnya.