Ini sangat mengejutkan. Tidak kuduga Erik rela datang kemari untuk mengajakku menikah. Kami saling mengenal sudah sangat lama, dia adalah sahabat priaku satu-satunya. Aku mengenalnya bahkan sebelum aku tahu apa itu cinta. Dari dia masih setinggi pundakku, hingga sekarang aku yang sepundaknya. Aku sangat terharu dengan perjuangannya kemari, dan lucunya hatiku jadi berdebar kencang mengetahui dia mencintaiku.
“Sejak kapan kamu mencintaiku Erik?” tanyaku kembali sebelum menjawab pertanyaannya.
Pria itu tersenyum malu, dan itu terlihat sangat menggemaskan. “Sejak kita SMP kurasa. Makanya dari dulu aku tidak pernah mengajak seorang perempuan pun berkencan. Karena satu-satunya orang yang ingin kuajak berkencan hanya kamu.”
“Kenapa kamu bisa mencintaiku?” tanyaku lagi.
“Entahlah. Aku merasa bisa menjadi diriku apa adanya di depanmu dan kamu tidak pernah protes tentang kejelekan-kejelekanku. Kemudian aku merasa nyaman, ah dan terutama kita satu frekuensi. Apa pun dapat kita bicarakan tanpa merasa bosan. Selama setahun terakhir, saat kamu pindah ke sini, aku merasa kesepian luar biasa. Aku merasa tidak bisa hidup tanpamu.” Sempat jeda sebentar, kemudian Erik berkata lagi. “Kurasa solusinya hanyalah dengan kita menikah, jadi sepenuhnya kita akan selalu bersama.”
“Aku sadar, membangun rumah tangga itu butuh kesiapan mental, materi, kedewasaan, dan lain sebagainya. Maka dari itu setahun terakhir aku lebih bekerja keras sehingga aku bisa mempersiapkan kalau hendak membangun rumah tangga.”
Langsung saja kusela ucapan Erik. “Ehem, kenapa caramu melamar sangat jauh dari kata romantis?” sindirku terang-terangan.
“Ya kamu kan tahu dari dulu aku bukan orang yang romantis seperti pangeran impianmu.” Erik berujar dengan wajah masam yang justru membuatku tergelak.
“Ah, aku lupa. Mungkin aku melakukannya kurang benar.” Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan membuka sebuah kotak cincin di hadapanku. Tidak lupa dia berlutut dengan satu kaki dan mengarahkan cincin itu padaku. “Begini, kan?” tanyanya pelan pada diri sendiri.
“Olivia Sabrina, sudikah kamu menerimaku yang kaya kekurangan ini untuk menjadi suamimu? Aku mungkin tidak bisa menjanjikan surga di bumi, tapi aku berjanji akan berusaha menjadi seorang yang terbaik di hidupmu. Aku ingin kamu menjadi orang pertama yang kulihat setelah bangun tidur dan orang terakhir yang kutatap sebelum tidur. Aku ingin berjuang bersamamu, mendidik anak-anak kita, dan mengecap manis pahitnya kehidupan bersama.”
“Aku ingin menjadi orang pertama yang mengusap air matamu, juga menjadi alasanmu tersenyum bahagia. Aku ingin ketika orang lain bertanya padamu, siapa pria terbaik yang pernah kamu miliki? Lalu kamu menjawab dengan bangga dan bahagia, “suamiku”. Aku tidak akan memberimu kata-kata seperti “semangat ya!” atau “sabar ya!” tetapi aku akan menjadi orang yang menemanimu melalui semua kesulitan dalam hidup.”
Erik masih berlutut di depanku, sementara kata-katanya telah menyentuh hatiku. Air mataku menetes kembali. Sepertinya, aku juga jatuh cinta pada Erik.
“Ternyata kamu romantis dan pintar menyusun kata-kata, ya.” Aku memuji.
“Aku harus memikirkan semua kata-kata itu sebelum menuliskannya di selembar kertas. Selama beberapa jam aku sibuk meralat dan mencari di internet.” Jujur sekali pria di depanku ini.
Aku ikut berlutut dan memeluk Erik sekali lagi. “Ya, Erik. Jawabanku adalah iya untuk semua pertanyaanmu. Aku mau kamu menjadi suamiku. Aku mau menjadi orang pertama yang kamu lihat setelah bangun tidur dan orang terakhir sebelum tidur. Aku ingin kita berjuang bersama, mendidik anak kita bersama, dan merasakan pahit manisnya hidup.”
Kami kembali melepas pelukan. Erik langsung mengambil cincin dari kotak dan mengenakannya pada jari manisku. Agak sedikit longgar, tetapi benda itu tetap bertengger dengan indahnya di sana. “Aku akan membuat jarimu memenuhi cincin ini dengan sempurna karena ini agak longgar.”
Aku tertawa dengan ucapan Erik yang penuh dengan makna tersirat ini. “Bilang saja kalau aku terlalu kurus.”
“Memang.”
Tiba-tiba saja suara tepuk tangan memenuhi lobi dan kami menoleh pada sekitar. Orang-orang yang berlalu lalang berhenti untuk memberi kami tepuk tangan kebahagiaan. Kami terlalu terfokus pada satu sama lain, sehingga tidak menyadari bahwa di sekitar kami masih banyak orang. Memang benar kata pepatah, bahwa dunia ini serasa milik berdua bagi orang yang sedang jatuh cinta.
Kami berdiri dan tersenyum kikuk. Setelah kumpulan orang-orang yang menonton kami pergi, aku baru teringat sesuatu.
“Sebenarnya sebentar lagi aku harus naik ke pesawat. Tapi kamu baru saja datang, jadi apa rencanamu setelah ini?” tanyaku sedikit bingung.
Erik tersenyum misterius, sepertinya dia memiliki rencana dalam kepalanya…
.
.
.
Tidak ada yang lebih mengejutkannya dibanding pernyataan cinta dan tangisan Litani yang terjadi beberapa menit lalu. Dia masih saja terpaku di kursinya dan termenung dengan kata-kata gadis itu. Bahkan ucapan dan tangisan Litani masih terngiang di kepalanya hingga detik ini. Dia tidak menduga ternyata selama ini Litani memikirkannya sehingga novelnya macet. Apa sebegitu kejamnya dia sampai-sampai Litani seperti ini?
Tiba-tiba rekan sesama editornya menghampiri kubikel Konstanta dan duduk di depan pria itu. Laki-laki yang bernama Argo tersebut memasang ekspresi bingung dan kasihan. Memang selama ini Konstanta paling akrab dengan Argo karena selain karakter mereka yang sama-sama tenang, mereka juga penyuka kopi.
“Nggak bermaksud mengupingmu tadi, tapi perselisihanmu dengan penulismu tadi sangat ramai sampai orang-orang membicarakanmu.” Argo berujar seraya menatap Konstanta dengan serius. “Memangnya ada masalah apa kamu dengan penulismu? Bukannya hubungan kalian cukup baik ya? Aku sering melihat kalian diskusi sampai malam.”
Konstanta menghela napas dan mengusap rambut sedikit frustrasi. “Sepertinya perselisihanku dengan Litani sangat berisik ya sampai-sampai kalian dengar?” tanya pria itu dengan senyum tipis.
“Setidaknya cukup keras sampai-sampai aku yang sedang meeting dengan divisi marketing di ruang sebelah bisa mendengarnya.” Laki-laki berkemeja hitam dengan suspender tersebut menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
“Padahal aku sama sekali nggak mau urusan pekerjaan tercampur dengan urusan pribadi. Tapi kenapa semuanya malah jadi seperti ini?” tanya Konstanta lagi.
“Bagaimana ya…” Lawan bicaranya ini mengulas senyum dan tatapannya menerawang. “Kalau dari perselisihan kalian tadi, menurutku tidak ada yang salah. Kalian kan bekerja sudah cukup lama dan jadi dekat, kemungkinan besar dia menjadi nyaman. Terus dia patah hati karena perasaannya bertepuk sebelah tangan padamu, maka dari itu dia patah hati dan tulisannya berantakan. Sekarang dia menyerah pada tulisannya karena itu semua.”
“Hei, mana kutahu apa yang mengganggunya kalau dia nggak mengatakannya?” balas Konstanta dengan kesal.
“Kamu tahu sendiri kan kalau perempuan tidak mungkin mengatakannya, apalagi kalau itu berhubungan denganmu. Lagipula, ini juga salahmu! Bagaimana bisa di saat kritis seperti ini kamu justru membuat semuanya berantakan? Tunggu setidaknya sampai novelnya selesai!”
Konstanta mengerutkan keningnya, temannya ini semakin berceloteh tidak jelas. “Kamu ini bicara apa? Aku nggak melakukan apa-apa, dia yang tiba-tiba saja mengamuk.”
“Oh, Konstanta yang sangat maskulin, apa kamu nggak mendengarkan penjelasannya dengan detil? Novelis kesayanganmu itu berantakan karenamu. Dia menulis novel dengan cinta awalnya, lalu karena sesuatu yang kemungkinan besar karenamu, dia jadi patah hati. Tulisannya jadi berantakan karena dia patah hati. Kemudian, apa yang kamu katakan padanya sehingga dia ingin kontraknya diputus?” balas Argo.