DARMA INDAH

Aditya Maulana Yusuf
Chapter #3

Dua

Di kampus, Darma adalah salah satu mahasiswa berbakat di jurusan perfilman & sinematografi. Setahun sebelum ia menjadi mahasiswa disana, Darma mendapatkan beasiswa karena menjuarai lomba kreasi film dokumenter yang di selenggarakan kampusnya. Senior-seniornya di kampus pun sangat mengapresiasi kegigihannya sampai-sampai memberikan Darma sebuah julukan, namanya “CFB” yang artinya Coming From Behind.

Pulang larut malam bahkan tidak pulang sama sekali pun sudah menjadi kebiasaan Darma. Pernah suatu ketika Darma dibuat sangat pusing ketika ia di berikan kepercayaan oleh Pak Bowo, Dosen pembimbingnya, untuk mengerjakan sebuah film pendek bertemakan “Alam Raya Nusantara” untuk di ikut sertakan dalam kompetisi film pendek nasional kala itu. Saat adegan yang seharusnya kering dan cerah, tiba-tiba hujan lebat menjadi penghalang, dan ketika di butuhkan adegan hujan, langit selalu cerah dan tidak ada tanda-tanda akan datangnya hujan, belum lagi beberapa masalah teknis lainnya.

Salah satu sahabat Darma yang bernama Bara bahkan lebih khawatir dengan kondisi seperti ini ketimbang Darma yang terlihat biasa-biasa saja menghadapi keadaan yang sulit di tebak dan mencemaskan banyak pihak, karena saat itu film pendek tersebut sudah harus di serahkan kepada Ali, sahabat Darma yang memegang tugas menjadi editor di film tersebut.

“Dam...” Panggilan akrab Bara untuk sahabatnya terlontar dari begitu saja untuk membuka obrolan. Ketika sedang berteduh di dalam tenda, saat sedang break proses syuting.

“Kenapa Bar?” Darma sedang memegang gelas berisikan kopi dengan kedua tangannya. Wajah Darma terlihat biasa-biasa saja tanpa tergambar rasa khawatir di raut wajahnya.

“Jadi gimana nih keputusannya?” Bara merasa gelisah, dari tadi ia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya karena merasa pusing dengan keadaan karena dirinya juga di beri kepercayaan mendampingi Darma sebagai asisten sutradara.

“Nunggu!!!” Darma menjawabnya dengan sangat santai seperti tak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Kopi yang dari tadi hanya ia tiupi kini mulai di minum sedikit demi sedikit.

“Hufft...” Bara menghembuskan nafas panjangnya. “Dam, ini hujan nggak bakal berhenti secepat kilat, lagian hari udah mau gelap! Dan yang jadi masalahnya kita juga lagi di kejar deadline, mending kita lanjut aja sekarang?” Lagi- lagi Bara memperlihatkan mimik muka kesal terhadap keadaan yang sedang menyulitkannya, hingga ia tak bisa berpikir dengan baik untuk mencari sebuah solusi yang tepat.

“Kita nggak bisa ngelawan dan ngeluh sama alam Bar.., mereka sudah semestinya seperti ini. Lagian disini, di dunia ini, kita kan cuma numpang, makanya sekarang tinggal nunggu aja kan gampang” Darma memberikan secercah nasehat untuk meredakan rasa ke khawatiran sahabatnya itu dan mencoba untuk menenangkan situasi, agar tidak selalu menanggapinya dengan hal yang di namakan emosi.

“Yaudah lah, terserah lu aja Dam! Asal film ini beres dan keburu ikut kompetisi, cuma itu permintaan gue sama loe” Perkataan Darma sukses meredakan rasa ke khawatiran Bara, sehingga kini ia lebih mengikuti saran sahabatnya ketimbang keegoisan dirinya sendiri.

“Iya Bar iya, tenang CFB masih disini” Ujar Darma sambil merbahkan dirinya untuk sekedar beristirahat sejenak, tanpa ingin memikirkan hal selain istirahat dengan tenang.

“Sialan lu Dam! Kalo proyek ini gagal, Coming From Behind nggak ada lagi yah?” Sindir Bara. Darma hanya bisa tertawa ketika mendengar ucapan dari mulut sahabatnya itu.

Ibu Halimah, sang Ibunda tercinta tidak pernah protes, curiga, marah maupun melarang Darma, karena ia yakin bahwa putranya itu sangat senang menjalaninya, tetapi Ibu Halimah hanya mengkhawatirkan satu hal kepada Darma, yaitu tentang kesehatannya saja.

SRENG!!! SRENG!!! SRENG!!!

Bu Halimah sedang memasak menu andalan rumah makan miliknya. Yaitu, oseng ayam mercon. Seluruh meja telah terisi penuh oleh para pengunjung, bahkan sampai ada yang tidak kebagian tempat duduk, hingga akhirnya mereka memilih membungkus makanannya untuk menyantap oseng ayam mercon di rumahnhya masing-masing.

Di rumah makan, Bu Halimah dibantu oleh seorang perempuan muda bernama Nina. Nina adalah adik kandung dari Bu Halimah yang kebetulan belum berkeluarga, sehingga ia di minta kakaknya untuk bantu-bantu disana, karena Nina juga belum mempunyai rumah dan tempat tinggal di jakarta, karena beberapa bulan lalu ia mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya. Sang Kakak menyuruhnya untuk menempati rumah yang berada tepat di belakang rumah makan. Darma dan Arman sering kali memangglinya dengan sebutan Teteh daripada Bibi. Menurut Darma, Teh Nina terlalu muda untuk disebut Bibi dan Darma merasa kurang enak ketika memanggilnya dengan sebutan itu, karena Darma sudah menganggap bahwa Teh Nina adalah kakaknya sendiri.

“Teh si Arman nggak dijemput?” Teh Nina bertanya kepada Kakaknya sambil melihat ke arah arlogi yang ia gunakan di tangan kirinya. “Ini udah mau jam pulang sekolah teh” Sambung Teh Nina yang sedang menanak nasi. 

“Biarin ajah Nin, lagian dari sekolahan kesini mah deket, tinggal jalan lurus dan nggak nyebrang juga. Biar dia belajar mandiri dari kecil!” Bu Halimah mengusap keringat di dahinya menggunakan tisu yang dari tadi hanya ia kepal ditangan kirinya, sambil terfokus pada masakannya itu.

“Eh iya yah, biasanya juga dia pulang sendiri” Menghentikan pekerjaan sebelumnya, dan bergegas membuat es teh manis pesanan para pelanggan.

“Kamu mah masih muda udah pelupa! Makanya Nin, banyak-banyakin makan wortel” Bu Halimah tiba-tiba saja menyinggung kata wortel. Hingga membuat Teh Nina bingung dan terdiam dari kegiatannya yang sedang membuat es teh manis. Nina melihat kearah Kakaknya.

“Wortel mah buat mata atuh Teteh, bukan buat orang pelupa!” Teh Nina berusaha membenarkan perkataan Kakaknya yang membingungkan itu.

“Iya gitu?” Bu Halimah malah bingung sendiri dan balik bertanya kepada Teh Nina. Seakan-akan ia tak yakin dengan ucapan yang keluar dari mulutnya itu.

“Ya iyalah, kan warnanya merah” Teh Nina memperjelas maksud dari ucapannya tadi.

“Kalau begitu tomat ajah Nin!” Celetuk Bu Halimah yang taak mau ucapannya terlihat salah dimata Adiknya. Padahal ia tahu bahwa perkataan Teh Nina itu benar adanya.

“Sama aja Teteh, kan warnanya merah-merah juga” Kembali meyakinkan Kakaknya bahwa buah dan sayur yang berwarna merah itu mempunyai suatu kandungan yang baik untuk mata.

Bu Halimah diam dan terlihat bingung dengan ucapannya sendiri, sampai-sampai dirinya yang darit adi sibuk dengan masakannya kini mematung tanpa terdengar suatu kata keluar dari mulutnya lagi.

“Ohh toge!!!” Perkataan Bu Halimah sontak membuat Adiknya itu kaget bukan main.  

“Astagfirulloh! Teteh judi?” Teh Nina masih merasa kaget hingga berkata seperti itu dengan cukup kencang sambil melihat ke arah Bu Halimah.

Lihat selengkapnya