Ratna, yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya. Ada nada heran dalam suaranya, seolah tak mengerti mengapa sang Putri begitu bersemangat.
Ratna: Hamba membelinya di pasar, Putri. Pedagang itu... Hamba ingat namanya. Ia bernama Arya.
Nama itu, yang sebelumnya hanya terdengar biasa, kini menggema di telinga Candra Kirana dengan resonansi yang mendalam. Nama "Arya" langsung terhubung dengan bayangan samar pria misterius yang menyelamatkannya di reruntuhan. Arya. Pedagang rempah. Kesatria Pelindung Mataram Kuno. Tiga identitas yang seharusnya terpisah kini menyatu dalam satu sosok di benaknya.
Candra Kirana: Arya... dia berdagang di mana? Di bagian mana di pasar?
Ratna: Hamba... hamba tidak tahu pasti, Putri. Tetapi lapaknya berada di dekat gerbang timur. Aromanya sangat kuat, tidak mungkin salah.
Candra Kirana tidak menunggu lagi. Dengan tergesa-gesa, ia bangkit dari duduknya. Pikiran tentang pesta semalam, perjodohan, dan urusan istana lainnya sirna. Hanya ada satu hal yang penting sekarang.
Candra Kirana: Ratna, siapkan kereta kuda. Kita pergi ke pasar. Sekarang juga.
Mata Ratna membelalak kaget. Tetapi, Putri... Anda tidak mungkin pergi ke pasar sendirian lagi! Sang Raja akan murka.
Candra Kirana: Aku tidak akan pergi sendirian. Aku akan pergi dengan pengawal, tetapi kita akan mencari pria itu dengan hati-hati. Ini bukan lagi soal rempah, Ratna. Ini soal takdir.
Di pasar Sriwijaya, Arya Wirasena sedang membereskan sisa lapaknya yang kosong. Hatinya dipenuhi rasa syukur atas rezeki yang melimpah, namun ada perasaan aneh yang mengganjal. Ia masih memikirkan wanita berkerudung yang membeli semua rempahnya, dan ia tahu, aroma rempah yang ia jual bukan sekadar dagangan, melainkan sebuah petunjuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia merasa takdir sedang menariknya kembali ke dalam pusaran yang ia hindari selama tiga abad.