Candra Kirana kembali ke istana. Di dalam kamarnya yang megah, ia duduk di depan meja rias, tatapan matanya kosong. Ratna, dayang setianya, menuangkan teh hangat untuknya.
Ratna: Putri, Anda baik-baik saja? Wajah Anda terlihat lelah.
Candra Kirana: (mengambil cangkir teh, suaranya pelan) Aku tidak tahu, Ratna. Dia... dia menolak untuk mengaku. Padahal, firasatku mengatakan dia adalah orang yang sama.
Ia teringat kembali percakapan mereka. Sikap Arya yang tenang, matanya yang misterius, dan penolakan lembutnya. Ada sesuatu yang menariknya pada pria itu. Bukan hanya karena ia menyelamatkannya, tetapi ada getaran yang sama seperti yang ia rasakan di reruntuhan, seolah jiwa mereka saling mengenali.
Candra Kirana: Aku yakin, dia menyembunyikan sesuatu. Kekuatannya, simbol itu, dan sekarang... dia menghilang begitu saja di tengah hutan. Dia bukan orang biasa.
Ratna: Lalu, apa rencana Anda selanjutnya, Putri? Setelah ini, tidak mungkin lagi kita bisa mengikutinya. Raja pasti akan menambah pengawal.
Candra Kirana: (tersenyum tipis) Kita harus membuatnya datang sendiri ke sini. Jika dia tidak mau mengaku, kita akan memancingnya. Aku butuh dia, bukan hanya untuk berterima kasih, tetapi untuk memahami rahasia di balik rempah-rempah dan simbol itu.
Candra Kirana mengambil sebatang arang dan perkamen, kemudian mulai menggambar lambang Mataram Kuno yang ia lihat di pergelangan tangan Arya. Ia menatapnya dengan tekad.
Candra Kirana: Aku akan mempublikasikan sayembara. Kita akan mencari seniman terbaik untuk mengukir lambang ini di sebuah kalung perak, kalung yang akan menjadi hadiah bagi siapa pun yang bisa menemukan rempah-rempah yang kita butuhkan. Rempah itu, yang hanya bisa ditemukan di reruntuhan Mataram Kuno.