Darma Titah: Warisan Cinta di Tanah Sriwijaya

Tengku Dimas Permana
Chapter #9

Rakryan Mukti

Ruang pertemuan istana Sriwijaya dipenuhi cahaya obor yang bergetar halus, seolah tembok-tembok batu pun gelisah. Para pejabat duduk berjajar, namun suasana seperti dihadiri oleh sesuatu yang tidak terlihat. Pintu kayu berat itu akhirnya bergeser, dan masuklah seorang pria berjubah hitam kebesaran—langkahnya pelan, namun memenuhi ruangan dengan aura dingin.

Rakryan Mukti.

Penasihat kerajaan yang namanya berbisik di antara lorong-lorong gelap, dikenal karena kecerdikannya—dan ketidakpastian moralnya.

Mahapatih Wijaya mengangkat wajah. “Rakryan. Kami tidak memanggil rapat pagi ini.”

Rakryan Mukti tersenyum tipis. “Aku tahu. Justru itu sebabnya aku datang.”

Ia melangkah mendekati meja besar, ujung jubahnya menyapu lantai seperti bayangan hidup. Tatapannya menyapu seluruh ruangan sebelum berhenti pada Mahapatih.

“Ada sayembara baru diumumkan,” ujarnya datar. “Sayembara untuk mengukir lambang kuno yang sudah lama tidak seharusnya disebutkan.”

Mahapatih menarik napas, mencoba tetap tenang. “Itu hanya permintaan Putri Candra Kirana. Tidak lebih dari rasa penasarannya.”

“Rasa penasaran,” Rakryan Mukti mengulang sambil tertawa pelan, “adalah awal dari kebakaran besar dalam sejarah kerajaan mana pun.”

Ia berhenti, tangannya menyentuh ukiran naga pada meja. “Dan yang membuatku heran… lambang itu bukan sembarang lambang. Itu milik Mataram Kuno.”

Ruangan menjadi hening seperti kuburan.

“Seseorang memperlihatkan lambang itu kepada sang Putri,” lanjutnya. “Dan Putri… tertarik.”

Mahapatih berkata, sedikit tegang, “Seorang pemuda. Pedagang rempah. Dia menolong Putri di hutan.”

“Pedagang?” Rakryan Mukti mendekat, mencondongkan tubuh. “Atau seseorang yang menyamar menjadi pedagang?”

Lihat selengkapnya