Di tengah-tengah dojo atau arena, sebuah kumite antar pemegang sabuk hitam tengah berlangsung.
Fathan Adiwilaga berhadapan dengan seorang karateka muda bernama Ananta. Keduanya melakukan yoi atau hormat dan mengucapkan “Osh”.
Selama beberapa lama, mereka saling menendang dan melancarkan pukulan. Fathan yang berpembawaan tenang itu beberapa kali berhasil menangkis pukulan dan tendangan Ananta yang berpembawaan percaya diri.
Kaki Fathan yang panjang cukup mudah untuk menjangkau badan Ananta. Pertarungan sengit itu beberapa kali membuat Ananta melakukan jogai atau keluar dari garis luar lapangan pertandingan.
Keringat mengucur di pelipis Fathan. Ia memasang dachi atau kuda-kuda, lalu melancarkan mawashi geri atau tendangan memutar badan sambil melompat di udara. Tendangan itu mengenai kepala Ananta.
Ananta tak telak lagi terbanting ke lantai, lengannya langsung dikunci oleh Fathan.
Pertarungan itu dimenangkan oleh Fathan.
Di kursi penonton, Khiron ayahnya dan Zoel Tirtayana sahabatnya mengangkat tangan mereka dengan penuh kemenangan.
-----
Zakiya Anahita Ibrahim mengitarkan matanya ke ruangan perpustakaan pribadi yang luas dan besar itu dengan perasaan takjub. Dinding ruangan itu tertutup oleh rak-rak yang sarat dengan buku-buku klasik. Sebuah meja besar dengan beberapa kursi khusus untuk membaca terletak di tengah ruangan. Di sudut ruangan, terdapat meja kerja dilengkapi dengan komputer.
"Wow... Begitu banyak buku-buku... Layaknya taman bacaan..."
Zakiya menarik sebuah buku dari rak. Buku itu adalah sebuah buku Al-Jami’ As-Shoghir. Secara acak membuka Juz 2 halaman 92. Dengan terbata-bata, Zakiya membaca tulisan yang tertera pada halaman tersebut.
“Semua Bani Adam (manusia) mempunyai ikatan keturunan dari ayah, kecuali anak-anak Fathimah, maka akulah ayah mereka dan akulah asobah mereka (ikatan keturunan mereka).”
Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Sumi, ART Keluarga Wiryadinata masuk ke dalam perpustakaan itu dengan tergopoh. Ia menarik tangan Zakiya dengan lembut. Zakiya menaruh kembali buku Hadith itu ke dalam rak, lalu menurut pergi bersama Sumi.
Habib Wiryadinata duduk di kursi goyang, di sudut ruangan sambil memegang tongkat kayu yang seakan tertancap di lantai. Istrinya, Laksmi menyajikan teh-teh panas di atas meja di hadapannya. Lalu, duduk di sampingnya sambil meraih cangkir teh dari meja, menyerahkannya pada Eyang Habib.
Iqbal Ibrahim duduk di sofa bersama istrinya, Nisa Wiryadinata. Mereka sama-sama meraih cangkir teh dari atas meja. Fouza, putri sulung mereka duduk di antara kedua orang tuanya mengulum permen lolly.
"Jadi, apa proyekmu yang sedang kamu kerjakan kali ini?" tanya Eyang Habib pada Iqbal.
"Banyak, Pa... Kami di Kemdikbud sedang mendirikan Kemah Budaya Kaum Muda, yaitu ajang kompetisi yang mengumpulkan bakat-bakat imajinatif dan kreatif kaum muda untuk menjawab tantangan pemajuan kebudayaan melalui pendekatan STEAM, yaitu Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics."
"Ah, Revolusi Industri 4.0, ya?"
"Benar sekali, Pa..."
Tiba-tiba, Zakiya muncul digiring oleh Sumi. Ia menghampiri Habib setengah berlari, lalu memeluk lengan Habib.
"Dari mana saja kamu, Zakiya?"
"Dari ruang perpustakaan... Bukunya Eyang banyak sekali, ya?" kata Zakiya sambil menoleh pada Eyang Habib.