Datang Lagi Rindu

Initial Jeka
Chapter #1

Semacam Prolog

Gerbong kereta mulai bertingkah, sudah tidak betah dia berlama-lama di stasiun ini, rodanya mulai berputar pelan setelah seseorang di ruang kendali mengirimkan pesan bahwa kami siap berangkat. Kereta bergerak, dan aku diam saja untuk tetap tenang memperhatikan tingkah polah manusia dan segala hal yang bergerak di sekitarku. Memperhatikan tingkah jarum jam di dinding Stasiun kereta yang sekarang sudah semakin menjauh. Aku yang menjauh atau dia. Atau sama-sama menjauh? Sepertinya hampir sama dengan pertanyaan banyak orang tentang waktu, kita yang bergerak atau waktu sedang membodohi kita?

Kau tahu? waktu tidak pernah berlari lebih cepat dari kita, kita yang melambat, bukan waktu yang menjadi lebih cepat. Percayalah, aku tidak suka berbohong. Setidaknya itu yang kutahu dari seseorang. Waktu selalu bergerak konstan, tidak pernah berubah, berputar dalam kecepatan yang sama, berulang dan tidak pernah berhenti. Tidak seperti kita yang sesekali berhenti untuk sekedar mencoba beristirahat, atau bahkan mencoba lari dari sebuah pertanyaan, atau lebih buruk lagi dari itu semua adalah lari dari kenyataan.

Kemudian setelah itu kita menyalahkan waktu, mencoba menjadikan waktu satu-satunya yang paling bersalah di pengadilan perasaan kita. Hampir setiap orang pernah seperti itu, sebagian lagi cukup memilih berusaha untuk menjadi manusia yang teramat sangat menyesal telah menyia-nyiakan ruang konstan bernama waktu.

           Aku, entahlah masuk kedalam golongan manusia seperti apa. Tapi saat ini aku hanya ingin menjadi manusia yang bisa bercerita dan bicara pada waktuku sendiri. Waktu yang mungkin pernah kusia-siakan. Waktu yang menemaniku memilih jalan sendiri, tanpa pernah mengeluh, tanpa pernah bertanya kenapa aku memilih kanan atau kiri, tanpa pernah menjadi hakim atas kesalahan-kesalahanku, hanya terus menemaniku, membantuku menyimpan dan merapikan setiap penggalan-penggalan cerita di setiap detiknya yang mungkin saja berserakan.

           Setiap orang pasti pernah punya cerita masing-masing tentang waktu, begitu pula aku. Kau percaya mesin waktu itu ada? Aku percaya. Namaku Fajar Timur aku adalah laki-laki yang sangat biasa dan sepertinya akan sangat membosankan, maka sebaiknya aku ceritakan dulu tentang seseorang yang membuatku percaya pada mesin waktu.

           Namanya Hanun. Kadang kusebut dengan suara agak mendengung. Mari kuceritakan terlebih dulu tentangnya. Dia cantik, lincah, aktif dan pintar. Rambutnya hitam berkilau, tidak terlalu panjang, tapi cukup panjang melebihi bahunya. Kulitnya kuning langsat, dia idaman para siswa di sekolahku. Ia periang, ramah dan terkadang mudah tersinggung. Dia juga punya mimpi unik dalam hidupnya yang mungkin terdengar seperti lelucon, dia menyebalkan, dia buruk dalam hal menebak, dia kadang cengeng dan emosinya sesekali membuatnya menjadi tertutup, tapi seperti gadis lainnya dia ingin punya pacar yang tampan seperti di Drama Korea atau Jepang yang romantis, dia pikir hidup seperti sinetron. Namun yang membedakannya dari gadis yang lain adalah dia kadang tenang setenang genangan air dan dia ingin punya mesin waktu.

Aku orang baru di sekolah itu. Kami hidup nomaden, selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya karena pekerjaan ayahku yang memaksanya untuk selalu berpindah-pindah. Ibuku, aku belum pernah bertemu dengannya entah sejak kapan.

           Tidak pernah sekalipun aku berniat untuk mengenalnya, atau lebih dari itu menjadi temannya. Tidak sama sekali. Hingga suatu hari di siang yang cukup terik aku tidak sengaja membuat pipinya memar dan berdarah, bola plastik yang kutendang di lapangan upacara meluncur bebas ke arahnya dan tepat memukul telak pipinya yang sedang memerah kepanasan. Dengan sangat menyesal aku meminta maaf, tapi tidak sedikitpun kudengar suaranya, mungkin dia sangat marah saat itu. Teman-temannya segera membawanya ke UKS untuk membersihkan dan merawat lukanya. Aku cukup kaget dan bingung saat itu.

Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan, tepat di antara pintu masuk UKS, lukanya sedang dibersihkan oleh teman sekelasku yang kebetulan piket hari itu. Namanya Rizwan, dia satu-satunya orang yang membiarkan aku duduk di sebelahnya saat pertama datang ke sekolah ini sebagai murid baru.

Saat itu sama sekali aku tidak melihat air mata menetes dari matanya, gadis tangguh itu tidak menangis sama sekali. Bahkan ketika kapas dengan alkohol menempel di pipinya yang berdarah, sedikitpun wajahnya tidak menunjukan rasa sakit atau ngeri. Kukira dia gadis yang kuat. Hanun melihat ke arahku dan tersenyum, aku mencoba membalasnya dengan memperlihatkan wajah menyesalku. Kemudian berbalik dan mencoba untuk pergi dan membiarkan Hanun dirawat oleh temanku, hingga.

           “Jar, ngapain berdiri di situ? Coba sini bantu gue” Teriak Rizwan memanggilku.

           “Eh, iya” Jawabku kaku.

           Rizwan memintaku mengambilkan perban di kotak peralatan yang menempel di dinding, aku tidak tahu namanya. Setelah mengguntingnya sesuai dengan arahan Rizwan aku memberikannya. Rizwan terlihat lihai merawat luka Hanun. Hanun terlihat berseri-seri.

           “Thanks ya” Ujar Hanun sambil sedikit mengerutkan dahi seperti menahan sakit.

           “Sama-sama, lain kali lihat kiri – kanan kalo jalan.” Jawab Rizwan ramah.

           “Siap!!” Hanun pergi meninggalkan kami, tanpa menunjukan wajah marah sedikitpun kepadaku.

           Saat itu aku bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Sampai Rizwan mengajakku kembali ke kelas karena bel tanda masuk sudah berbunyi.

           Jam pelajaran hari itu selesai, aku membereskan barang-barangku seperti biasa untuk segera pulang, rutinitas yang sangat biasa bukan? Begitulah hidup kipikir, seperti sesuatu yang terus berulang seperti jarum jam yang tak pernah pergi kemanapun, berputar di tempat yang sama.

           Di tempat yang lain kulihat Hanun berjalan keluar dari kelasnya bersama teman-temannya menuju tempat parkir sepeda. Di sekolahku yang baru ini memang sepertinya hampir 50% siswanya menggunakan sepeda. Sisanya jalan kaki dan dijemput mobil pribadi. Aku, ya cukup jalan kaki. Rumahku idak terlalu jauh dari sekolahku yang baru ini, sesekali aku ikut dengan Rizwan yang membawa sepeda. Sepanjang jalan pulang aku masih memikirkan kejadian saat istirahat tadi. Rasanya aku sangat menyesal membuat Hanun terluka. Tiba-tiba Rizwan menepuk pundakku dari belakang.

Lihat selengkapnya