Kereta berjalan cepat menyesuaikan diri dengan inginnya manusia untuk serba cepat, berlari menembus batas-batas wilayah menyatukan yang merindu, memisahkan yang bersatu. Seperti hidup, mati, bertemu, berpisah dan rindu. Sehabis tikungan ini, kulihat sebuah jembatan menyatukan dua tebing yang dipisahkan sungai besar. Kau tahu kadang-kadang jembatanpun tidak adil, menyatukan kedua tebing tanpa peduli pada sungai yang juga ingin didengar oleh tebing. Tapi di sisi lain jembatan berjasa besar untuk dua tebing yang saling merindu. Ah lagi-lagi aku bergumam sendiri, rindu pada masa lalu membuatku terus ingin tertidur dan bermimpi tentangnya, tentang mereka dan kenangan-kenangan yang berserakan. Kepala gerbong kereta memasuki lorong jembatan penghubung, kemudian ruanganku berubah menjadi sedikit gelap, meski sesekali jendela membiarkan cahaya masuk melalui sela-sela jendela. Decit rel kereta yang beradu dengan rodanya membuat kepalaku memutar kembali kenangan-kenangan itu.
Suara putaran roda sepeda berlomba bersahutan di sepinya malam. Keringat kubiarkan mengucur deras di badanku, di belakangku sepeda lainnya mencoba mengejar. Senyum jahatku hampir saja terkembang seperti setan, sampai tiba-tiba sepeda di belakangku menyusulku beberapa jengkal di depanku tepat di garis akhir. Sial. Batinku berteriak di dalam hati. Hanun tertawa puas bisa menyusulku. Aku kelelahan dan dia masih saja menertawakanku.
“Sudah balapan ke lima dan kamu masih belum bisa menang juga Jar?” Lagi-lagi Hanun tertawa.
“Sebenernya aku bisa aja menang, tapi nanti disebut gak ngertiin cewek, jadi aku lebih milih kalah.” Jawabku sok keren.
“Alesan!!” Hanun tertawa. “Nyari minum yuk Jar.”
Aku mengangguk sambil sesekali menarik nafas panjang mencoba menghilangkan lelahku. Sepanjang jalan Hanun mengejekku. Aku senang melihatnya tertawa, sepertinya senyumnya lepas, tidak ada beban sedikitpun. Lelahku hilang dan ikut tersenyum, menertawakan diriku sendiri. Kadang-kadang kenapa aku selalu terlihat bodoh. Sepeda Hanun memimpin di depan belok kiri dan berhenti di pertigaan menungguku sekedar untuk bertanya mau ambil jalur ke mana. Kemudian kami putuskan untuk ambil kanan. Jalannya menurun dan banyak kelokan, lebih asik. Dan akhirnya kami berhenti di depan sebuah cafe kecil. Dari luar kudengar sebuah alunan musik, suara penyanyinya seperti kukenal.
Kami masuk dan duduk di meja luar supaya tidak terlalu panas. Hanun memesan dua gelas susu murni. Satu gelas susu murni tawar, satu lagi susu murni dengan rasa strawberry plus gula terpisah. Terakhir roti bakar dan jagung manis. Selagi Hanun memesan, aku memperhatikan band akustik yang sedang tampil di depan. Kupikir dari sana mereka tak bisa melihat kami dengan jelas, tapi kami bisa melihat mereka dengan sangat jelas. Aku yakin vokalisnya adalah Rizwan. Suaranya bagus, musiknya enak di dengar, liriknya dalam, seperti orang yang sedang rindu berat. Ah pantas saja banyak yang suka padanya, beda denganku yang terlalu biasa-biasa saja. Jika dalam komik atau novel mungkin Rizwan adalah tokoh utamanya dan jika aku harus masuk di dalam cerita tentangnya mungkin aku hanya akan jadi pemeran figuran yang cuma numpang lewat.
“Malam minggu ngelamun?” Hanun memukulku pelan membangunkanku dari lamunan sesaat. “Kayak jomblo aja Jar, hehe.” Tambahnya dengan ekspresi muka menyebalkan.
“Eh, emang.” Jawabku ketus.
Hanun tertawa kemudian berhenti bergerak memperhatikan sosok vokalis yang sedang menyanyikan lagu kesukaannya. Kupikir Hanun memang cinta berat pada Rizwan. Lihat saja pandangan matanya, fokus dan cuma tertuju pada satu titik. Rizwan. Kemudian seorang perempuan muda mendatangi kami sambil membawa serta pesanan lengkap kami.
“Dua gelas susu murni ditambah gula terpisah, satu roti bakar dan jagung manis?”. Ujarnya sambil tersenyum manis. Kukira jika senyum manis Hanun menempati peringkat 1 dunia, maka senyum manis Waitrees ini ada di urutan ke 2. Setidaknya menurutku.
“Yess, makasi mbak.” Lagi-lagi Hanun memukulku, kali ini di depan perempuan muda yang sedang tersenyum manis. Aiish, mukaku memerah.
“Mulai deh ngiler tiap liat yang cantik, aku mau dikemanain?” Ujar Hanun menggoda.