Datang Lagi Rindu

Initial Jeka
Chapter #4

Bab 3: Rutinitas Rindu

Pertengahan semester, saat cuaca berangin.           

Jam pelajaran terakhir di hari ini selesai. Aku kembali membereskan barang-barangku. Dan aku kembali mengulang rutinitasku dan sekarang bersama Hanun adalah salah satu rutinitasku semenjak pindah ke sekolah ini. Sepulang sekolah Hanun mengajakku untuk mengantarnya ke suatu tempat. Lagi-lagi dengan sepedanya. Di perjalanan Hanun seperti biasanya banyak bicara seperti burung terlatih yang sering ikut kompetisi, dan aku jadi seorang pendengar yang baik, yang mendengarnya dengan bibir tersenyum. Kami sudah seperti dua sahabat yang telah berteman lama sekali. Di tengah perjalanan Hanun mencekik ku secara tiba-tiba hingga kuhentikan sepeda secara mendadak juga.

      “Ahhhh Timurrrr aku lupaaaaa.”

      “Lupa apa?”

      “Buku PR ku ketinggalan, ada yang harus kukerjakan malam ini.”

     Tanpa menunggu perintahnya kuputar balik arah sepeda kami, Hanun teriak-teriak gila saat aku memacu sepedanya dengan kecepatan penuh untuk menghemat waktu. Dia tertawa kegirangan. Dia pikir itu lucu. Sampai di depan sekolah aku menunggu di gerbang dengan nafas yang masih terengah-engah. Hanun berlari menuju kelasnya, mengambil barang yang dia maksud. 15 menit berlalu dia belum juga kembali, baru saja aku berniat menyusulnya kulihat Rizwan membonceng Rere teman sekelas Hanun. Rizwan berlalu di depanku, dia tersenyum ke arahku. Aku membalasnya kemudian mempercepat langkahku menuju kelas Hanun. Tapi dia tidak di sana. Aku harap Hanun tidak bertemu dengan Rizwan, batinku dalam hati.

    Aku berkeliling ke ruangan lainnya, juga tidak kutemukan. Hingga akhirnya kuputuskan kembali ke tempat parkir sepeda. Ada Hanun di sana sedang cemberut. Kupikir Hanun melihat Rizwan bersama Rere. Aku bergegas ke arahnya, dia cemberut matanya seperti menahan tangis.

       “Kamu lihat?” Tanyaku pelan.

      “Lihat apa? Hantu? Darimana aja kamu Timur? Aku pikir kamu pulang.” Tangisnya pecah di depanku sambil memukulku, lagi.

       “Syukurlah.” Aku menarik nafas panjang merasa lega jika memang dia tidak melihat mereka.

       “Syukurlah apa?” Hanun teriak di depanku terus memarahiku. Aku hanya tersenyum.

     “Hehehe iya maaf maaf, aku nyari kamu ke kelas, soalnya kamu lama, lebih dari 15 menit. Lambat banget, siput balapan sama kamu masih menang kancil, ya udah ayo berangkat.”

      “Gak mau, gak jadi, aku mau pulang.” Hanun masih terus menangis, dia merebut sepeda di tanganku kemudian pergi meninggalkan aku sendiri di sekolah. Kupikir aku memang salah meninggalkannya sendiri, meskipun sebenarnya aku lebih khawatir jika dia sampai melihat mereka. Hanun pergi, matanya merah, pipinya basah oleh air matanya sendiri. Aku pulang sendiri sambil terus bertanya-tanya. Aku seperti tidak mengenalnya, atau memang aku belum mengenalnya dengan baik.

    Besoknya aku sengaja datang terlambat ke sekolah, entah untuk apa aku melakukannya. Yang jelas aku takut melihat wajah marah Hanun kemarin, aku takut dia benar-benar marah. Bel istirahat berbunyi aku duduk di kantin sendirian. Beberapa orang siswa lain berlalu lalang di depanku. Hari ini tidak ada Hanun dan teman-temannya di depanku, ini seperti rutinitas baru lagi. Jika boleh jujur, aku rindu, tapi rindu untuk apa? Apa boleh aku rindu, minimal rindu yang bisa kusimpan sendiri. Rasanya aku haus memikirkan semua itu, hingga.

       “Bu . .” Suaraku tertahan.

     “Jus Alpukat tanpa gula pake susu sedikit jangan pake es batu, satu ya bu.” Suaranya aku kenal dan itu membuatku merasa hidup lagi.

   “Jadi gini, gak mau ngajak aku istirahat bareng lagi?” Hanun terlihat masih marah dan memukulku. Tapi kukira dia sudah tidak marah lagi jika sudah bisa memarahi juga memukulku seperti itu.

Lihat selengkapnya