“Jar, kamu mau gak jadi pacarku?”
Seketika saja perjalanan pulang menjadi sedikit mengerikan dari biasanya. Ini pertanyaan macam apa batinku dalam hati. Apakah benar atau hanya jebakan, atau ada sesuatu sedang mengganggu pikirannya setelah ia mengobrol dengan Rere di depan mini market tadi.
“Jawab Jar!” Hanun sepertinya sedang serius.
“Eh, aku?” Aku masih kaget bercampur bingung. “Maksud kamu?” Tambahku.
“Pasti kamu gak mau ya kan? Perempuan seperti apa yang kamu suka?” Tanya Hanun lagi. Kukira benar tebakanku tadi, sesuatu sedang mengganggu pikirannya, apa dia gila sekarang?
“Seperti apa ya? Sexy, baik, pintar, cerdas, bawel juga.” Jawabku sembarangan.
“Intinya kamu gak mau ya jadi pacarku?” Sekarang Hanun mengisyaratkan supaya aku menepikan sepeda. Hanun turun dari boncengan.
“Apa pertanyaan ini bener buat aku?” Hening, tiba-tiba Hanun seperti merasa bersalah.
“Ayo naik lagi, sepertinya kamu butuh istirahat. Gak usah banyak pikiran, tenang saja, yang akan menjadi jodoh kamu nanti pasti akan tetap menjadi jodoh kamu, sekalipun jalannya tidak sesuai dengan apa yang kamu mau. Gak selamanya kisah hidup kita sesuai apa yang kamu pikirkan. Tuhan punya banyak cara untuk membuat kita menunggu. Kalo aku jadi kamu, aku akan jujur pada siapa sebenarnya aku mau bilang cinta. Aku tahu, pertanyaan tadi buat Rizwan, dan aku gak berhak menjadi dia sekalipun aku cinta sama kamu. Cinta itu gak bisa dipaksakan Nun. Tenang aja, Tuhan pasti kirim jodoh sesuai kebutuhan kamu.”
Hanun memandangi aku untuk beberapa saat. Matanya berkaca-kaca, seperti ingin bicara banyak tapi tak sanggup.
“Maaf.” Hanya satu kata yang keluar dari bibirnya. Aku mengangguk dan kami meneruskan perjalanan pulang.
Sampai di depan rumah Hanun aku menghentikan sepedanya. Aku turun dari sepeda dan memberikannya pada Hanun. Masih tak ada suara dari bibirnya, sorot matanya masih seperti merasa sangat bersalah.
“Cepetan masuk, katanya ada yang penting.” Aku menyuruhnya untuk segera masuk. Baru kali ini aku melihat Hanun begitu sayu.
Sebenarnya aku belum tahu kata penting yang Hanun bilang di depan mini market itu untuk menjelaskan apa, tapi yang kutahu ada yang lebih penting dari semua itu. Dia butuh sendiri untuk memahami perasaannya sendiri. Dia butuh sepi agar hatinya mengerti seperti apa seharusnya ia memahami dirinya sendiri. Lalu aku berjalan meninggalkan rumahnya tanpa berbalik sekalipun.
“Timur, apa kamu tahu? Besok . . .” Hanun menghentikan kalimatnya seperti ragu-ragu.
“Kamu ulang tahun.” Jawabku sambil tersenyum penuh percaya diri. Tanganku mengisyaratkan pada Hanun untuk segera masuk. Aku kembali berbalik meninggalkan Hanun di depan pagar rumahnya.
Kemudian pagi hari setelah kejadian kemarin aku berangkat sendiri, kali ini aku membawa sepedaku sendiri. Sedikit malas untuk jalan kaki seperti biasanya, meskipun sebenarnya sejak kecil aku lebih terbiasa jalan kaki. Sampai di depan sekolah aku melihat hari itu Hanun tidak membawa sepedanya. Ia terlihat bergegas masuk ke kelas, sepertinya ia terlambat bangun.
Jam terakhir selesai waktunya untuk pulang. Aku menunggu Hanun di depan kelasnya. Hana dan Sean melambaikan tangannya padaku. Mereka berjalan bergandengan seperti sepasang kekasih, kemudian mereka mendekat ke arahku.