Matahari terasa begitu terik hari ini. Aku duduk sendiri dibangku taman sekolah, dibawah pohon yang rindang dan minuman jus yang ada ditanganku, membantu meredakan hawa panas akibat sinar matahari. Kubuka novel yang aku bawa dari kelas, novel yang kubaca kali ini menceritakan tentang seorang gadis yang masuk ke dalam dunia dongeng, tak lama akupun mulai sibuk dengan imajinasiku.
Brukkk!!!!! Ada sesuatu yang menghantam wajahku, sakit sekali rasanya. Tiba-tiba terasa pening kepalaku. Kulirik benda yang menghantamku tadi, ternyata bola basket. Aku hanya diam sambil terus memegang hidungku yang terasa begitu sakit, apa hidungku berdarah? tanyaku dalam hati.
Seorang laki-laki datang menghampiriku dengan wajah yang bersalah.
"Kamu engga apa-apa, Meira?" tanya nya sambil memegang pundakku.
Aku masih menundukkan kepalaku. Terdiam. Kenapa laki-laki ini tahu namaku, batinku.
"Meira? kamu engga apa-apa?" tanya laki-laki itu lagi untuk memastikan keadaanku.
Dengan kepala dan hidungku yang masih terasa sangat sakit, aku beruasaha sebisa mungkin mengangkat kepalaku dan melihat seseorang yang menghampiriku beberapa saat yang lalu.
Dia adalah Arsya Refal Hady, teman-teman memanggilnya Arsya. Laki-laki terpopuler disekolah, tingginya sekitar seratus delapan puluh lima senti meter dan berat badannya sekitar tujuh puluh kilogram, dia memiliki mata berwarna cokelat dan alis yang tebal tetapi sangat rapi, kulitnya untuk ukuran laki-laki dia memiliki kulit yang cerah dan sehat. Rambutnya sedikit bergelombang dan tersisir dengan rapi, bukan hanya sekedar itu, Arsya adalah juara umum di sekolah, pantas saja dia menjadi idola bagi siswi-siswi di sekolah ini.
Arsya dan aku memang belum pernah satu kelas, tapi bagaimana dia bisa tahu namaku. Aku hanya diam memandang wajahnya. Tampan sekali wajahnya, aku yakin sekali aku akan menyukai alis dan matanya. Walaupun dia memakai kacamata, tapi aku yakin dia memiliki mata yang indah.
"Meira?" Arsya menepuk-nepuk bahuku.
Aku tersadar. Ya ampun apa yang aku pikirkan, sempat-sempatnya aku berpikir seperti itu.
"Hidungku sakit. Kamu yang lempar bolanya?" tanyaku dingin.
"Engga, aku engga sengaja, Meira. Maaf ya, aku antar ke UKS yuk" ajaknya.
"Engga perlu, aku mau ke kelas saja. Lama-lama juga hilang kok sakitnya" kataku pelan, aku beranjak dari tempat dudukku dan pergi meninggalkan Arsya.
Arsya mengejarku dibelakang. Tak lama langkahnya sudah mengimbangi langkahku. Dia hanya diam saja, sesekali dia melihat ke arahku, seperti ingin mengajakju bicara tapi dia selalu mengurungkan niatnya.
"Tau darimana namaku?" tanyaku datar.
"Aku sudah tau dari tahun pertama kita di SMA" jawab Arsya dengan senyuman manis.
"Kok bisa? Kita kan engga pernah satu kelas" kataku masih juga datar.