Menunggu adalah hal yang paling kubenci selama ini. Selama dua puluh lima tahun aku hidup di atas Bumi ini, lebih tepatnya. Ketika aku menunggu sesuatu, aku merasa seperti tak bisa melakukan apapun. Seluruh tubuhku terpaku dan kaku sebagai sandera waktu yang beradu dengan ketidakpastian. Belum lagi pikiran dan asumsi yang bergerak dengan serentak membombardir isi kepalaku, membuatku pusing, cemas, bahkan tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Segala sesuatu seolah berkonspirasi untuk melemahkan diriku ketika aku menunggu sesuatu atau seseorang. Sekali lagi, aku benci menunggu. Apapun itu. Namun, kali ini rupanya berbeda. Aku justru tak sabar untuk menunggunya keluar dari sana dan menyambutnya ke dalam pelukanku.
Aku duduk di ruang tunggu yang sederhana. Jangan harap ada pendingin ruangan yang kita sebut AC. Di sini hanya ada kipas angin yang terus berputar mengusir udara panas di sekitar kami yang sebenarnya tak kunjung pergi juga. Alih-alih membuat udara menjadi lebih sejuk, kipas angin ini seolah-olah hanya berfungsi sebagai penenang hati. Penenang hati bahwa ada dirinya yang akan mengusir udara panas, tapi yang terjadi malah kebalikannya. Udara panas tetap kami rasakan, tak peduli seberapa kencang baling-baling kipas angin itu berputar. Jam dinding yang menggantung dengan malas di dinding ruangan ini sudah menunjukkan pukul satu siang. Pantas saja kalau panas sekali. Beberapa orang yang duduk di dekatku terlihat sibuk mengipas-ngipas diri mereka dengan kertas atau apapun yang dapat menghasilkan angin secara manual. Seorang anak kecil perempuan berbaju setelan hijau muda sibuk menghabiskan sebotol teh manis dingin yang digenggamnya di atas pangkuan ibunya. Melihatnya duduk di pangkuan ibunya membuat pikiranku berspekulasi sendiri tentang siapa yang sedang mereka tunggu atau siapa yang ingin mereka temui. Mungkinkah seseorang itu adalah sang ayah, paman, bibi, atau siapa?
“Bu Warni.”
Suara seorang pria yang berjalan mendekati kami membuatku tersadar dari pikiran-pikiranku yang telah terlalu jauh ikut campur. Bu Warni ternyata nama ibu yang kuperhatikan dari tadi. Dia langsung beranjak dari kursi bersama anaknya, lalu berjalan masuk mengikuti arahan pria yang memanggilnya tadi. Si anak menggandengan tangannya dan sambil berjalan meninggalkan ruangan ini dia tak melepaskan pandangannya dariku. Aku tersenyum memperhatikannya. Sosoknya pun menghilang masuk ke dalam ruangan yang lain tanpa membalas senyumanku.