Kami berjalan meninggalkan tempat ini dan menyusuri sepanjang jalan di bawah teriknya matahari siang yang menggantung dengan congkaknya di atas langit biru. Siang ini langit begitu cerah. Hanya ada sedikit awan yang menggantung di sana.
“Kau ingat waktu kita kecil?” pertanyaannya memecahkan keheningan yang mulai terasa tidak nyaman di antara kami. Aku mengernyit menatapnya yang berjalan di sampingku. Dia melanjutkan bicaranya, “Waktu itu kita suka bermain di sawah, lalu setelah puas berkotor-kotor ria dan berhasil mendapatkan keong, kita akan basah-basahan di sungai dekat sawah itu. Di sana kita akan membersihkan keong hasil jerih payah pencarian kita. Tak jarang kita juga ketemu ikan mujaer.”
“Tak jarang kita pergi bersama dengan anak-anak di kampung,” aku melanjutkan narasinya. Dia tidak menoleh menatapku. Tatapannya lurus ke arah jalanan aspal yang membentang lurus di depannya. Pepohonan rindang mulai terlihat dan udara menjadi sedikit lebih sejuk, apalagi ditambah datangnya angin sepoi-sepoi yang sesekali menggoda rambut kami untuk menari-nari.
“Oh iya… Kau benar. Anak-anak kampung. Bagaimana kabar mereka, ya? Irma, Tia, Anisa, Nia… Hmm… Siapa lagi ya?”