DATANG UNTUK PERGI

judea
Chapter #3

Mendatangi Kekosongan Hati

Kami melanjutkan perjalanan menuju ke kampung tempat kami menghabiskan sebagian besar masa kecil kami. Karena perjalanan ke sana cukup jauh, kami harus naik angkot dua kali untuk tiba di sana. Kampung kami memang terletak di pinggiran kota sehingga perjalanan cukup memakan waktu. Selama di perjalanan kakakku tidak banyak bicara. Pandangannya terkunci ke pemandangan kota kecil ini yang terbentang jelas di luar jendela mobil angkot, sibuk mengamati setiap jengkal isi kota ini. Hanya dalam hitungan bulan beberapa sudut sudah berubah, tapi masih ada juga yang tetap sama. Dengan kakakku di sampingku aku tak bisa menahan pikiranku untuk tidak mengembara ke mana-mana. Berbagai macam pertanyaan menerorku setiap detiknya. Namun, semakin waktu bergerak menuju sore, semakin kurasakan ketenangan dan kedamaian di diri Iswari sampai akhirnya kami tiba di jalan masuk utama kampung kami. Gapura besar bertuliskan KAMPUNG JOGLO menyambut kedatangan kami.

Kampung ini ternyata sudah banyak berubah. Satu dekade lebih telah berlalu dan aku hampir tidak lagi mengenal deretan rumah-rumah yang kulewati, begitu juga dengan warganya. Suasana di kampung ini sepi sekali. Sungguh berbeda dari suasana kampung yang dulu pernah kutempati. Satu dua orang yang berpapasan dengan kami memberikan senyum ramahnya, tapi wajahnya sangat asing dan kami tidak saling kenal. Kami terus berjalan menuju lokasi warung rujak Bu Iyem karena kakakku ingin makan di sana. Di luar dugaan, apa yang ada di hadapan kami membuat kami begitu tercengang. Aku masih ingat jelas rumah dan warung rujaknya yang tepat bersebelahan dengan pohon jambu di tengahnya sebagai pembatas. Kini rumah itu tidak ada lagi. Sudah luluh lantak rata dengan tanah. Hanya sisa-sisa tembok lapuk dan pohon jambu yang sudah hampir mati menjadi saksi bisu. Aku bertatapan dengan kakakku sambil melongo.

“Pemiliknya punya banyak utang. Jadi, waktu itu katanya ada ribut-ribut dengan debt collector, rumahnya disita sampai akhirnya rumahnya diratakan dengan tanah.” Suara seorang pria tua di belakang kami membuat kami terenyak dari bayang-bayang berbagai asumsi yang menyelimuti kepala kami.

“Oh... Di mana pemiliknya sekarang, pak?” tanya kakakku. Dia kelihatan masih penasaran dengan kisah Bu Iyem yang tidak kami ketahui.

Si bapak menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu. Saya kebetulan pindah ke sini setelah mereka digusur dan diusir paksa.” Kemudian dia menganggukan kepalanya pada kami sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan kami yang masih tenggelam dalam tanda tanya besar.

“Kak? Kita cari tempat makan lainnya saja, ya?” Aku menggenggam lengannya dan mengajaknya pergi dari sini. Kakakku mengangguk dengan lemas. Tidak ada pilihan lain.

Lihat selengkapnya