“Mau berburu keong?” tanyanya setelah puas berdongeng nostalgia tentang masa kecil kami. Senyumnya usil karena dia tahu aku sering sekali kalah jika disuruh berburu keong.
“Memangnya masih ada keong?” Aku balik bertanya degan mengernyit. Dia tertawa mendengar responsku.
“Ayo! Kau harus menuruti setiap permintaanku hari ini!” Dia sudah berlari ke pematang sawah. Dengan terpaksa aku mengikutinya.
Belum lama turun ke sawah Iswari sudah mendapatkan banyak keong. Dia memungut sampah kantong plastik yang ditemukan di pinggir pematang sawah dan memasukkan semua hasil buruannya. Kali ini aku melihat sosok Iswari, kakakku, seperti ketika kami masih kecil. Dia sibuk sekali membolak-balik batu yang ada di sekitar sawah dan tak segan-segan turun masuk ke lumpur sawah hanya untuk mendapatkan lebih banyak keong. Padahal, setelah dia mendapatkan sebanyak yang dia inginkan, biasanya dia akan mencucinya di sungai dan melepaskan mereka semua di sungai. Terkadang dia mengambil beberapa ekor yang menurutnya berbentuk agak unik dan lucu untuk dibawa pulang. Cipratan lumpur sawah di wajahku membuatku terenyak. Sialan. Dia berada di hadapanku dan sengaja memercikan lumpur di tangannya ke wajahku.
“Iswari!!!” teriakku kesal karena keusilannya. Seperti kelakuannya sejak dulu, dia hanya tertawa terbahak-bahak melihatku kesal dan bersungut-sungut. Kakakku sudah kabur duluan berlari menuju ke sungai. Aku berlari mengejarnya yang sudah agak jauh sambil mengomel-ngomel.
“Makanya jangan melamun!” serunya dari kejauhan. Dia sudah sampai di tepi sungai dan berdiri berkacak pinggang mengejekku. “Cepat sini bersih-bersih di sini!”
Aku berjalan sambil manyun menuju ke tepi sungai, mengikutinya yang sibuk bermain air sambil membersihkan kakinya yang masih penuh lumpur. Setelah itu, dia mengeluarkan satu per satu keongnya dan membersihkan keong-keong tersebut dengan air sungai. Masih dengan kebiasaan lamanya yang tidak juga luntur.