DATASOUL : RESONANCE OF THE OLD WORLD

Zayyem Myue
Chapter #9

Chapter 3 - Kode Arsitektur

 

Perjalanan menuju Menara Resonansi terasa seperti menyusuri pembuluh darah sebuah raksasa yang sedang demam. Udara di distrik tengah kota terasa padat, bergetar dengan frekuensi rendah yang membuat bulu kuduk meremang dan mengisi paru-paru dengan rasa sesak yang tak terjelaskan. Di setiap persimpangan, pemandangan yang sama menyambut mereka: warga Atlantis yang membeku dalam momen pribadi mereka, mata mereka menatap kosong pada pemandangan yang tak kasat mata, bibir mereka menggumamkan fragmen lagu atau doa dari zaman yang telah lama terkubur. Mereka adalah lonceng-lonceng hidup yang berdentang tanpa suara, menandakan bahwa demam kota ini semakin parah dan kesadaran kolektifnya mulai pecah di tepian.

 

Tim Zyyma bergerak dalam formasi yang senyap dan waspada. Jatos berjalan di depan bersama Liora, otoritasnya yang tegas menjadi satu-satunya hal yang membuat para pengawal Divisi Keamanan menjaga jarak, meski tatapan curiga mereka terus menusuk punggung tim Tesla. Mereka bukan lagi tamu atau anomali; di mata sebagian warga, mereka adalah episentrum dari gempa jiwa yang sedang melanda kota. Saat melintasi sebuah alun-alun kecil, mereka melihat sekelompok warga dari faksi Resonansi telah mendirikan semacam altar darurat. Mereka meletakkan kristal-kristal bercahaya dan bunga-bunga laut dalam formasi spiral, dan di tengahnya mereka berlutut, merapalkan doa. Saat Zyyma lewat, salah satu dari mereka mengangkat kepala dan berbisik dengan penuh hormat, "Sah’unra..."

 

Zyyma merasakan gelenyar tidak nyaman di tengkuknya. Gelar itu terasa seperti jubah berat yang dipaksakan ke pundaknya. Ia bukan arsitek kuno, bukan penyelamat. Ia hanya mencoba memahami.

 

Semakin dekat mereka ke menara, semakin kuat resonansi itu terasa. Menara Resonansi tidak seperti bangunan lain di Atlantis. Jika bangunan lain adalah perpaduan organik antara biologi dan teknologi, menara ini adalah sesuatu yang lebih murni dan primordial. Ia menjulang seperti satu kristal melingkar raksasa yang ditanam dari jantung dunia, permukaannya yang halus memantulkan langit kubah dalam distorsi warna yang aneh. Hari itu, cahaya yang biasa terpancar biru lembut kini berdenyut dalam rona ungu-merah yang dalam, seolah darah purba mengalir kembali ke jantung kristal yang lama tertidur. Setiap denyutnya terasa seperti detak jantung yang lambat dan penuh kerinduan.

 

“Struktur ini... hidup,” bisik Kirel, Defract miliknya secara otomatis membentuk lapisan tipis di sekitar tim untuk menyaring disonansi frekuensi yang paling tajam. Lapisan itu bergetar halus, seperti riak di permukaan air. “Setiap denyutnya melepaskan gelombang data, tapi bukan data digital. Ini lebih seperti... cetak biru emosi.”

 

Mereka tiba di pelataran utama menara. Area itu telah dikosongkan, ditutup dengan barikade energi yang berkedip-kedip. Jatos memberikan isyarat, dan barikade itu terbuka dengan desisan enggan, memberikan mereka akses ke sebuah dunia yang terasa jauh lebih tua dari Atlantis itu sendiri.

 

“Seluruh laporan mengarah ke sini,” kata Jatos, suaranya berat. “Apapun yang kalian lakukan, lakukan dengan cepat. Kesabaran para petinggi Integratif sudah menipis. Aku tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi.”

 

Axel dan Kael langsung mengambil posisi. Mereka adalah barisan depan dalam pertarungan logika ini. Axel berlutut, meletakkan telapak tangannya di atas sebuah panel akses kuno di dasar menara. Panel itu tidak memiliki layar atau tombol, hanya permukaan batu halus dengan ukiran spiral yang terasa hangat saat disentuh.

 

“Tidak ada port, tidak ada antarmuka,” gumam Axel, matanya terpejam. Ia tidak mencoba meretas; ia mencoba mendengarkan. Machmind dalam dirinya merambat keluar, bukan sebagai kode, tetapi sebagai perpanjangan indera. Sirkuit digital di lengannya menyala, berkedip-kedip tidak menentu saat mencoba menyesuaikan diri dengan frekuensi organik menara itu. “Ini seperti mencoba menerjemahkan sebuah puisi dengan kalkulator. Machmind bisa mendeteksi struktur datanya, tapi tidak bisa memahami maknanya.” Ia terdiam sejenak. “Aku bisa merasakannya. Ini bukan protokol Tesla. Bukan pula sistem analog. Ini... arsitektur berbasis resonansi. Seperti sebuah lagu yang sangat kompleks.”

 

Panel Machmind-nya menampilkan visualisasi dari apa yang ia rasakan: sebuah gelombang suara yang kacau, namun di antara kebisingan itu, sebuah pola yang konsisten muncul: peta spiral yang samar. “Ada jalur di sini. Bukan jalur fisik. Jalur frekuensi. Dan tujuannya... aneh. Peta ini tidak mengarah ke atas atau ke samping. Ia menunjuk ke bawah. Jauh di bawah kota,” lapornya, keningnya berkerut dalam konsentrasi.

 

Di sampingnya, Kael menatap menara itu sendiri dengan pandangan yang berbeda. Gateweaver miliknya tidak membaca data, melainkan membaca ruang dan kemungkinan. Matanya yang biru berkilat, melihat lapisan-lapisan tak terlihat yang membentuk menara itu, seolah sedang menatap sebuah kunci dan lubang kunci yang terbuat dari dimensi.

 

Lihat selengkapnya