Pagi kedua di Atlantis datang bukan dengan cahaya, melainkan dengan bisikan. Ia merambat bukan melalui panel komunikasi atau pengeras suara kota, melainkan melalui jalur yang lebih purba: ruang di antara mimpi dan kesadaran. Di Distrik Resonansi, seorang perajin kristal tua terbangun dengan napas terengah, tangannya tanpa sadar mengukir simbol spiral di atas meja kerjanya sebuah simbol yang belum pernah ia pelajari namun terasa lebih akrab daripada namanya sendiri. Di sisi lain kota, di sektor Integratif yang steril, seorang teknisi muda terjatuh dari kursinya, matanya menatap kosong ke panel data yang menampilkan laporan cuaca, namun yang ia lihat adalah langit merah darah dan dua menara kembar yang runtuh ke dalam lautan api.
Fenomena ini menyebar seperti wabah sunyi. Pagi itu, lebih dari seratus warga Atlantis melaporkan pengalaman yang sama: sebuah mimpi kolektif. Mimpi yang membawa mereka ke zaman yang terlupakan, di mana Atlantis belum lagi menjadi kota di bawah kubah, melainkan sebuah daratan perkasa yang berdialog langsung dengan bintang. Mereka mendengar suara-suara, bukan dalam bahasa modern, melainkan dalam ritme resonansi yang jiwa mereka pahami secara naluriah. Sebuah panggilan, sebuah peringatan, dan sebuah duka yang usianya ribuan tahun.
Di dalam ruang isolasi di Distrik Limina, keheningan terasa berat dan artifisial. Medan peredam resonansi yang dipasang di sekeliling ruangan bekerja dengan baik untuk menahan virus tim Zyyma agar tidak bocor keluar, namun gagal total untuk menghalau apa yang datang dari luar.
Kael adalah yang pertama merasakannya. Ia tidak sedang memindai, hanya duduk bersandar di dinding, namun matanya yang biru tiba-tiba berkilat. “Ada yang aneh dengan frekuensi kota ini,” gumamnya, cukup keras untuk didengar yang lain. “Bukan lonjakan energi... ini lebih seperti... gema yang semakin keras.”
Axel, yang sejak subuh sudah berkutat dengan panel portabelnya, mengkonfirmasi. “Aktivitas neural psionik di seluruh kota meningkat 400%. Polanya tidak sinkron dan tidak terpusat. Seperti ratusan stasiun radio yang menyala bersamaan, memutar lagu yang sama tapi dengan tempo berbeda.” Ia memperlihatkan grafik di panelnya: sebuah kekacauan data yang indah sekaligus menakutkan.
“Ini dampak dari penutupan retakan,” ujar Senna dari sudut ruangan. Tubuhnya duduk dalam posisi meditasi, namun separuh dirinya tampak transparan, seolah Echoform-nya terus-menerus mencoba menyatu dengan dinding ruangan. “Kita tidak hanya membawa pulang jiwa-jiwa yang tersesat. Kita membawa pulang ingatan mereka. Dan kota ini... meresponsnya.”
Pintu ruang isolasi bergeser terbuka dengan desisan pelan. Jatos Almemora melangkah masuk, kali ini tanpa pengawal. Wajahnya yang biasanya terkendali kini tampak kusut, lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia tidak tidur semalaman. Kecemasan yang kemarin ia tunjukkan telah bermetastasis menjadi stres yang nyata.
“Laporan terus berdatangan,” katanya tanpa basa-basi, suaranya serak. “Mimpi kolektif, halusinasi massal, suara-suara dari masa lalu. Beberapa ekstremis dari kubu Integratif sudah mulai menyiarkan propaganda, menuduh kalian sebagai ‘hibrida anomali’ yang membawa wabah mental.”
“Kami tidak melakukan apa-apa,” Kirel menukas, nadanya dingin dan defensif.
“Aku tahu,” balas Jatos, menghela napas panjang. “Tapi kota ini tidak berpikir dengan logika sekarang. Ia berpikir dengan rasa takut. Dan ada yang lebih buruk.” Ia berhenti sejenak, matanya bertemu dengan tatapan Liora. “Sudah ada dua belas warga yang tidak bangun dari mimpi mereka. Dokter menyebutnya ‘koma resonansi’. Tubuh mereka sehat, tapi jiwa mereka... tersangkut.”
Liora maju selangkah, wajahnya pucat. “Di mana mereka?”
Jatos ragu. Membawa mereka keluar dari isolasi adalah sebuah risiko politik yang besar. Namun menatap mata adiknya yang penuh tekad, dan melihat Caelan yang duduk diam di sudut dengan tatapan kosong, ia tahu ia tidak punya banyak pilihan. “Di paviliun medis darurat, tidak jauh dari sini. Aku bisa membawa kalian, tapi dengan pengawasan ketat. Setiap gerakan kalian akan dipantau.”
Zyyma mengangguk. “Kami mengerti.”
Ini bukan lagi sekadar misi observasi. Mereka telah terseret ke jantung krisis Atlantis.
Paviliun medis darurat Distrik Limina terasa seperti kuil yang dipaksa berfungsi sebagai rumah sakit. Dinding kristal yang biasanya memancarkan cahaya penyembuh kini diselimuti oleh panel-panel medis darurat dari faksi Integratif. Suasananya steril, namun di bawah aroma antiseptik, tercium aroma ozon samar tanda adanya aktivitas energi psionik yang tinggi.
Dua belas ranjang berjejer rapi. Di atasnya, para warga Atlantis terbaring diam, wajah mereka tenang seperti sedang tidur pulas. Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada getaran halus di udara di sekitar mereka. Beberapa dari mereka sesekali menggumamkan kata-kata dalam bahasa Atlantis Kuno, bibir mereka bergerak tanpa sadar.
“Data vital mereka normal, tapi aktivitas otak mereka berada di level yang belum pernah kami catat sebelumnya,” jelas seorang petugas medis yang mendampingi Jatos. “Seolah-olah mereka sedang memproses data ribuan tahun dalam satu malam. Sistem kami tidak bisa membacanya.”
Tovan mendekati salah satu ranjang. Ia tidak menyentuh, hanya berdiri diam, membiarkan Coreflux dalam dirinya merasakan medan di sekitarnya. “Ini bukan koma,” bisiknya. “Jiwa mereka tidak hilang. Mereka... sedang menjelajah. Tapi mereka tidak tahu jalan pulangnya.”