Daun-Daun yang Merayu Angin

Khairul Azzam El Maliky
Chapter #1

1.Senja Tenggelam di Wajahmu

Siluet pepohonan bakau yang berbaris di sepanjang garis pantai utara Pulau Jawa membuat pemandangan senja semakin memukau. Ombak saling berdebur memecah keheningan di pantai Bohai yang memesona. Birunya laut makin menambah menyempurnakan keindahan ciptaan Tuhan. Burung-burung perenjak dan kuntul putih mengepakkan sayap mereka di angkasa raya. Mereka bak lukisan di atas kanvas dunia. Semilir angin tiada henti membelai-belai dengan lembut muka pengunjung yang masih enggan untuk meninggalkan pantai, hanya untuk sekedar menyaksikan indahnya suasana yang mulai terbungkus jubah renjana jingga. Ditambah dengan panorama menara-menara PLTU yang tinggi menjulang seperti roket yang hendak diterbangkan ke angkasa luar.

Nun jauh di tengah pantai tampak perahu-perahu nelayan yang mengambang bak seorang manusia yang harus menghadapi ganasnya badai kehidupan. Tapi perahu-perahu itu terlihat gagah menghadapi badai dan sama sekali tidak takut jika harus melawan tingginya ombak yang akan menelannya bulat-bulat. Dan para nelayan itu tak hirau sama sekali ketika cahaya hangat matahari mulai tenggelam di pelupuk mata alam. Di kaki barat sana. Yang kemudian berganti dengan semburat petang yang mulai menawan senja dengan kelamnya malam. Bahkan di ujung jembatan sana, masih terlihat dua sejoli yang begitu asyik menyaksikan lukisan Sang Maestro alam, Allah ‘Azza wa Jalla. Sesekali bibir angin meniup ujung kerudung perempuan muda yang selalu tersenyum pada dunia.

Bagi mereka menyaksikan tanda-tanda kebesaran Tuhan merupakan salah satu dari bentuk syukur seorang hamba kepada penciptanya. Segala pemandangan yang terbentang di hadapan mata tiada akan ada habisnya untuk dinikmati. Selama ciptaan itu tidak dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia bejat yang suka mengatur-ngatur Tuhan. Sifatnya tidak sementara. Berbeda dengan ciptaan manusia yang gampang rusak. Ciptaan Sang Ilahi lebih abadi. Meskipun yang tersaji di alam dunia. Subhanallah wa ni’mal wakiil, subhanallahil azhim. Dua sejoli itu berdiri tepat di hadapan senja yang makin lama semakin menghilang ditelan oleh segerombolan awan hitam yang membentuk barisan di barat sana. Lalu keduanya saling beradu pandang. Sebuah pandangan yang sama seperti saat pandangan pertama dulu. Mereka sama sekali tidak merasa jemu untuk saling memandang satu sama lain. Justru mereka semakin merindukannya untuk selalu beradu pandang.

“Kamu semakin cantik, Sayang.” Ilham memuji istrinya yang juga sedang memandang wajahnya. Gadis itu mengulum senyum. Pipinya merona merah. Matanya berbinar. Tidak pujian yang lebih indah daripada pujian yang meluncur dari bibir suaminya. Pujian yang tulus. Yang dapat menambah besarnya cinta dalam diri mereka berdua.

“Aku sangat mencintaimu, Sayang.” Ilham mengelus pipi istrinya yang halus bak pualam. Gadis itu menunduk malu. Lalu ditatapnya kembali wajah suaminya dengan mengerlingkan matanya yang bening. Tiada pemandangan yang jauh lebih eksotik daripada hamparan keindahan yang terbentang di wajah istrinya.

“Begitu juga dengan diriku, Mas. Aku sangat mencintaimu.” Gadis itu mengatakannya dengan lembut. Suaranya laksana oase di tengah padang gurun sahara. Suara yang selalu membuat Ilham merindukan untuk selalu mendengarkannya. Sebab setiap kali mendengar suara istrinya jiwanya akan merasa tenang. Setenang pantai Bohai di tengah malam.

Padamu kasih kuhaturkan

Rasa cintaku yang seluas lautan

Tak pernah surut walau semalam

Selalu pasang meski ombak berdatangan

 

Padamu kasih kutambatkan

Perasaan cinta yang tak tertahankan

Agar engkau segera naik ke buritan

Kemudian kita pergi mengarungi lautan

 

Ayo segera angkat sauhnya, Sayang

Kita berangkat merengkuh masa depan

Lihat selengkapnya