Det-det-det-det-det. Suara mesin pintal otomatis jadul memintal kapas menjadi benang mentah. Lalu setelah menjadi benang, karyawan akan mencelupnya ke kuali warna untuk mewarnai. Setelah proses pewarnaan baru kain dibawa ke mesin jahit untuk dirubah menjadi berbagai jenis pakaian. Mesin tersebut akan selalu hidup sampai subuh nanti. Ketika sudah waktunya berganti shift. Ada tiga gudang yang menjadi tempat pemintalan benang. Meskipun mesin pintalnya otomatis, namun harus dijaga oleh satu karyawan yang bertugas. Tujuannya agar dapat memotong atau mengganti kapas yang rusak maupun sudah habis. Itulah yang selama ini menjadi tugas rutin perempuan itu. Sudah saatnya pulang untuk berganti shift. Ia berkali-kali melirik ke arloji Omega yang melingkar kuat di lengan kirinya. Lantas ia pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka.
“Sudah habis kapasnya, Sil?” Kepala gudang yang berjalan di koridor gudang bagian Spinning bertanya padanya dengan muka bersungut-sungut. Sama sekali tidak kehangatan di wajahnya. Apakah setiap Kepala gudang harus berdarah dingin? Belum lagi menjadi mandor. Ah, terkadang manusia ketika diberi jabatan sedikit saja, sombongnya minta ampun. Jangankan menjadi kepala gudang atau mandor, diangkat menjadi kepala RW saja sudah sombong, menganggap orang kecil semakin kecil. Tak untung.
“Sudah, Mbak.” Perempuan itu menghentikan langkahnya sebentar untuk menjawab, lalu melanjutkan kembali menuju kamar mandi. Tidak lupa ia membawa bungkus kotak sabun dan satu bungkus body lotion.
Suara bel meraung-raung pertanda pergantian shift karyawan. Karyawan yang masuk pukul 8 pagi sudah saatnya pulang tepat pukul 5 sore. Senja masih menggantung di langit sana. Lantunan ayat-ayat suci masih menguar dari menara masjid dekat pabrik tekstil itu. Ratusan karyawan yang keluar dari pabrik seperti satu koloni semut yang sedang mengadakan long march di depan gedung dewan. Ada yang sedang janjian ketemuan dengan pacar, sesama karyawan juga. Di pabrik tekstil ini, budaya selingkuh sudah menjadi hal yang biasa. Meskipun mereka sudah menikah, punya suami atau istri sah tapi mereka masih saja menjalin hubungan sampai rela mengontrak rumah yang berada di belakang pabrik. Biasanya hal ini terjadi pada pasangan suami istri yang suaminya bekerja jauh di perantauan. Kadang hubungan itu akan berakhir ketika si perempuan hamil hasil dari hubungan cinta terlarang mereka yang semakin edan. Ada pula yang sedang ditagih oleh penagih utang. Di pabrik ini bukan hanya ada budaya selingkuh yang semakin menjamur, budaya utang pun tak kalah heboh. Ketika tanggal muda, sebagian karyawan ada yang mengutang pada sesama karyawan yang merangkap menjadi sales. Sales apa pun. Bisa sales makanan ringan, kue, baju baru, celana baru, tas baru, sepatu baru, dan sebagainya. Bayarnya ketika sudah masuk tanggal tua. Pas gajian mereka menagih. Kadang meski mereka sudah gajian, orang yang ngutang biasanya sembunyi di dalam gudang dan pulang menjelang Isya.
Perempuan itu berjalan menuju ke luar pagar pabrik. Kain jingga semakin temaram di atas langit sana. Burung-burung sudah pulang ke sarangnya sejak tadi. Sejurus kemudian, datang seorang laki-laki mengendarai sepeda motor Honda 80-an. Buat orang zaman dulu, kendaraan paling istimewa adalah sepeda motor dan sepeda kumbang. Laki-laki berwajah manis itu berhenti di depan perempuan tadi. Melepaskan helmnya hingga tampaklah mukanya yang lagi tersenyum.
“Sampeyan nggak lembur, Mas?” Perempuan itu berjalan menghampiri lelaki yang tidak lain adalah suaminya itu. Sementara si laki-laki melepaskan tali pengait helm yang satunya, dan disodorkan kepada istrinya.
“Tidak. Pekerjaanku sudah selesai tadi sore. Alhamdulillah aku tidak lembur sehingga aku punya banyak waktu bersama anak-anak.”
Perempuan itu naik di boncengan, dan suaminya menyalakan sepeda motor dengan cara menginjak pedal mesinnya. Dan motor jadul itu pun menyala. Istrinya berpegangan di pinggang suaminya saat motor sudah mulai merayap di jalanan yang ramai kendaraan.
“Malam ini ada pasar malam, Dik.” Lelaki itu memegang stir kendaraannya dengan ringan.
“Di mana, Mas?”
“Di stadion kota.”
“Memangnya kita mau membeli apa di sana?” Perempuan itu merespons dengan datar seolah tidak tertarik dengan pasar malam.
“Ya kita beli apa kek di sana. Martabak telur kek, martabak manis kek, roti goreng kek, ikan kering kek, udang windu kek. Mumpung tadi aku sudah gajian.”
“Sebaiknya uangnya buat biaya pendidikan anak-anak, Mas. Ingat itu Ilham sebentar lagi mau ujian akhir nasional.”
Maryati nama perempuan itu. Wajahnya cantik, kulit kuning seperti orang Cina, tingginya tidak tinggi betul, dan postur tubuhnya padat berisi. Meski sudah memiliki empat anak dari pernikahannya ia masih terlihat awet muda. Usianya sudah memasuki angka 40. Ia lahir di tengah-tengah keluarga sederhana. Disebut miskin juga tidak. Ibunya bekerja sebagai pedagang pisang. Dulu, neneknya juga dikenal kaya dan pedagang sembako yang ulet. Tanahnya luas. Tapi tak satu pun anak cucunya yang mendapatkan tanah itu lantaran dijual oleh saudaranya sendiri. Neneknya meninggal dunia setelah keracunan kacang merah. Termasuk yang meninggal kelima adik ibunya. Hanya ibunya dan kakak ibunya yang diselamatkan oleh Allah dalam peristiwa itu. Sehingga dari rahim mereka berdua kelak lahir anak-anak yang dapat memuliakan derajat keluarganya yang mendahului. Mereka diangkat menjadi orang-orang mulia yang dekat dengan Tuhannya. Bukan sebagai kiai tapi setingkat di atas kiai.
Perempuan itu tidak melanjutkan ke SMA. Sebab zaman dulu yang masuk SMA masih jarang. Ia hanya memiliki selembar ijazah SMP kemudian melamar pekerjaan di pabrik tekstil Jayatex yang kesohor itu. Ia membantu perekonomian ibunya setelah ayahnya meninggal dunia. Dan di sanalah takdir mempertemukannya dengan laki-laki itu.
Namanya adalah Sulton. Nama yang begitu pendek. Tidak perlu panjang-panjang. Toh meskipun namanya panjang akan dipanggil pendek juga. Jadi, buat apa nama panjang-panjang. Yang penting bagi Sulton hidup harus selalu berbuat jujur dan bersikap baik kepada sesama manusia. Itu sudah cukup. Nama panjang dan Islami tapi berbuat tidak jujur, apa gunanya? Sulton adalah lelaki yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Sebagai seorang ayah, tidak jarang dia mengajarkan kepada keempat anaknya agar selalu bersikap baik dan jujur. Meskipun dia tidak mengenyam bangku SMP, tapi dia sangat pandai tentang seluk-beluk mesin kendaraan. Selidik punya selidik, ternyata sejak SD, Sulton sering menghampiri pamannya yang bekerja di sebuah bengkel truk yang berada di dekat rumahnya dulu. Dari pamannya-lah dia belajar memperbaiki mesin. Lulus SMP, Sulton langsung bekerja di bengkel tempat pamannya yang sudah meninggal. Dari sana pemilik bengkel terkesan dan merasa puas dengan hasil pekerjaan Sulton. Akhirnya ia diangkat menjadi montir tetap.
Selama 25 tahun membangun rumah tangga dengan Maryati, Sulton tidak pernah ringan tangan memukul atau menampar istrinya. Jika hatinya sedang dongkol ia akan keluar rumah dan mengajak si bungsu ke pasar malam. Sebab ia tahu apa yang menjadi penyebab istrinya marah. Perempuan itu meskipun sudah melahirkan empat orang anak, tidak pernah pula meminta dibelikan sesuatu. Ya meski pekerjaan suaminya cukup mapan. Coba bayangkan, dalam seminggu Sulton kadang dipanggil ke bengkel bus. Para bos pemilik perusahaan otobus itu puas atas hasil kerjanya. Gaji Sulton pun langsung naik. Bahkan ia sampai bisa menyekolahkan anak sulungnya sampai bangku SMP.
“Benar juga, Dik. Sebaiknya sebagian uangnya kita tabung buat biaya masuk SMA-nya Ilham. Apalagi adiknya, si Nadin juga mau naik ke kelas tiga. Sementara si Silvi mau masuk SD. Tentu biayanya makin bertambah.” Lelaki itu membelokkan motornya.
Hati lelaki itu akan luruh bagai es yang mencair ketika mendengar kata-kata yang keluar dari mulut istrinya. Sebab semua yang dikatakan oleh istrinya ada benarnya. Atas ketelatenan perempuan itu, akhirnya dia membeli sebidang tanah dan merenovasi rumah. Selain itu dia juga bisa membeli sepeda motor yang baru buat kerja dan antat jemput.