Dua belas tahun yang lalu…
Siang itu, matahari hampir tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Memancarkan teriknya ke segala penjuru ruang hingga masuk ke celah-celah kecil ranting dedaunan pohon jati. Sinarnya sedikit galau tertimpa debu-debu yang berterbangan di sekitar jalan desa. Burung kecil pun enggan menyanyikan kidung ceria, bahkan tak terlihat sayap-sayap mungilnya. Angin siang mengambil alih kuasa terik matahari.
Gesekan dedaunan yang diterpa semilir angin, menghidupkan aura pepohonan yang sempat letih dan membisu. Seolah ingin menyapa setiap pejalan kaki yang berteduh di bawahnya. Siang itu, tak nampak seekor burung pun yang bertengger di atas ranting pohon jati. Apalagi mendengarkan alunan akustiknya. Apakah mungkin mereka sudah bosan dengan hutan atau benci terhadap ulah manusia yang sudah angkuh dan tak bersahabat dengannya?
Di musim kemarau seperti ini, pohon-pohon jati pun sebagian sudah nampak mengering dan seolah serentak menggugurkan daun-daunnya yang biasanya di musim hujan, berdaun sangat lebat dan sering diambil daunnya. Sudah hampir enam bulan hujan tak pernah singgah membasahi tanah. Sungai-sungai mengering, meninggalkan gumpalan-gumpalan batu yang menyembul dan pasir-pasir mengering di pinggir sungai. Hanya semut merah yang sedang berbaris di kulit kayu batang pohon jati. Sesekali seekor lalat terbang gelisah dan tak tentu arah di sekitarnya.
Di sisi lain, di pinggir jalan Randublatung, Blora, sejenak terlihat sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan sebuah rumah mungil berdinding kulit kayu jati tanpa cat vernes, beratap genting dan jerami kering. Tak berselang berapa lama keluarlah dua orang berpakaian rapi dengan dasi melingkar di lehernya.
Sejenak mereka nampak memperhatikan rumah jati di hadapannya itu. Rumah yang berdiri di tengah hamparan lahan milik Mbah Karim, tepat di pinggir jalan Randublatung, Blora. Di lahan yang terbuka itu, tampak beberapa tanaman jati muda dan tanaman cabai di sela-sela larikan nya. Begitu juga dengan tanaman kacang tanah terhampar dengan tegakan batang jagung kering sisa panen di sisi kanan kirinya.
Sementara itu, cacahan kayu bakar teronggok di depannya. Beberapa batang kayu jati berdiameter tak lebih dari 11 cm juga tampak berserak di samping rumah.
Beberapa saat kemudian keluarlah dari dalam rumah seorang laki-laki tua bertelanjang dada dengan celana komprang warna hitam. Laki-laki berperawakan kurus dan berkulit hitam legam itu, menjawab salam mereka. Deretan gigi putih yang masih lengkap, tampak jelas dalam senyuman lebarnya tatkala menjabat erat tangan tamu-tamunya itu. Janggut putih di dagunya memperjelas garis-garis tua di raut wajahnya. Sorot matanya tajam, namun ada keteduhan membayang di dalamnya.
Sejenak mereka nampak terlibat perbincangan yang akrab. Seorang perempuan setengah baya mempersilahkan mereka untuk mencicipi hidangan yang disuguhkannya.
“Keseharian saya ya di sini. Tinggal di sini. Malam juga tidur di sini!” ujar Mbah Karim seraya menunjuk sebuah papan yang menempel pada dinding rumah.
“Nggak takut Mbah?” goda Hasan, salah seorang dari mereka disusul tawa renyahnya.
“Apa yang harus ditakuti? Setan? Genderuwo? Saya nggak takut. Justru yang kami takuti adalah para pencuri kayu yang berlindung di balik hukum hehehe… “ celetuk Mbah Karim. Mendengar celoteh Mbah Karim, membuat tamu-tamunya meradang yang tergambar jelas dari raut wajah mereka.
“Justru kalau malam di sini ramai kok... Pak Mandor dan Pak Mantri, kalau habis patroli ya ngumpulnya di sini, bakar ubi sambil ngopi!” lanjut Mbah Karim seraya menyebutkan bahwa masyarakat di sekitar hutan sering menjadikan rumahnya itu sebagai pos kumpul-kumpul.
Namun senyum ramah Mbah Karim itu mendadak berubah serius, ketika salah seorang dari mereka menawarkan harga tinggi untuk setiap kayu jati gelondongan. Secara tidak langsung mereka meminta Mbah Karim mempengaruhi warga untuk melakukan pencurian kayu jati yang kemudian disetorkan kepada mereka.