DAUN JATI BERBISIK

DENI WIJAYA
Chapter #2

JASAD TANPA RUH # 2

Enam belas tahun kemudian…

Setibanya di depan gapura pintu masuk desa Randublatung, dengan langkah-langkah panjang lurus Budiman menuju kerindangan deretan pohon jati di sepanjang jalan menuju kediaman Mbah Karim, di dalam kawasan hutan jati Blora. Makin mendekati gerumbul desa Randublatung, langkah Budiman makin cepat.

Diikuti dengan detak jantung yang juga cepat. Lalu tiba-tiba dia terjebak dalam kelengangan yang begitu aneh.

Budiman berhenti sejenak dan menatap ke depan, “Hmm.. di manakah rumah kayu Pak Sodikun yang biasa tampak dari ujung pematang? Juga di manakah kilau atap seng surau?”

“Kenapa sekarang banyak bangunan rumah baru? Kemana rumah-rumah kayu jati yang khas daerah Blora?” tanya Budiman dalam hati.

“Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi ragu dan bimbang? Aku harus segera sampai di kediaman Kakek!” ucapnya dalam hati.

Budiman melangkah lagi. Namun kelengangan bahkan semakin terasa sekali, sungguh suasana yang mencekam. Jalan-jalan di perkampungan tampak sepi, hanya angin yang sedikit kencang menerbangkan dedaunan kering. Tidak ada anak-anak berkeliaran di halaman dan tidak terdengar pula suara mereka.

Sepertinya baru saja terjadi wabah penyakit, ataukah jangan-jangan mereka para kaki tangan cukong kayu telah menakut-nakuti warga dengan sosok hantu kuntilanaknya, pikiran terus berkecamuk dalam kepalanya.

Sesaat Budiman berdiri beku, dahinya berkerut-kerut. Dia berusaha keras membaca dan meyakini kenyataan yang tergelar di hadapannya. Berusaha untuk mereka-reka, kejadian apa yang baru saja menimpa kampung ini. Banyak sekali berserakan kayu-kayu yang hangus terbakar di pinggiran hutan. Apa yang terjadi dengan kampung ini selama dia di Jakarta?

Pada saat pundak Budiman jatuh, sebuah jawaban yang pasti bisa menerangkan segalanya. Apabila dia teringat pada masa kecilnya di Randublatung ini terbawa arus kecongkakan para pencuri kayu, apalagi waktu itu ayahnya sedang gencar-gencarnya menolak dan membabat habis mereka, maka segala sesuatu yang buruk tak usah dipertanyakan lagi, pasti sudah menghadang di depan mata. Ya. Kemudian dia merasakan sesuatu yang amat pahit masuk lalu mengental di dasar hatinya. Perasaan bersalah kembali menyelimuti hatinya.

Kini Budiman melangkah lagi. Mengambang, seakan telapak kakinya tidak menginjak tanah. Seorang anak kecil yang tak sengaja melihat kedatangannya lari terbirit, lalu menerobos pintu gubuk dan bersembunyi dengan wajah pucat. Orang-orang perempuan mengintip dari celah dinding anyaman bambu. Mereka tidak berani menampakkan diri bahkan sesudah mereka yakin orang yang datang itu adalah Budiman, cucu kesayangan Mbah Karim.

Ketika Budiman sampai di pekarangan rumah Mbah Karim, dia tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. Banyak warga berkumpul di rumah Mbah Karim, berdiri membisu ketika mereka melihat kedatangan Budiman. Ketakutan dan duka masih menjadi warna yang paling dominan pada raut wajah mereka. Budiman sudah melihat sisa abu dan arang di pekarangan samping. Kini semuanya telah terjawab, Budiman menyadari benar apa yang telah terjadi. 

Dan jawaban yang rinci, mendasar, dan lengkap terbaca dengan jelas pada penampilan orang-orang yang sedang berkumpul di sana. Mereka adalah saksi hidup, monumen tanpa kata, yang mencatat secara rinci setiap detik demi detik kejadian yang telah menghantui desa Randublatung ini.

Budiman seakan melihat kobaran api membara yang terpancar pada pandangan mata mereka. Sementara rona wajah ketakutan dan kepanikan luar biasa nampak jelas pada wajah Mbok Paerah, istri Mbah Karim, yang keriput. Dan Budiman seakan mendengar jerit yang melengking ketika dia melihat air mata anak-anak perempuannya Paman Rusmaya mulai berjatuhan.

Satu langkah lebih jauh, dia sudah larut dalam kehancuran jiwanya. Dia tak kuasa lagi menatap wajah Mbok Paerah, Surti, Pratiwi atau lainnya. Dia tak kuasa lagi menyaksikan air mata perempuan tua yang turun membasahi pipi-pipi kurus dan pucat. Dia berjalan goyang.

Sikap tabah yang dipesankan oleh Mbah Karim beberapa waktu yang lalu berhasil menjaga tubuh Budiman tidak roboh. Tetapi sekuat apapun dia menahan, namun kali ini Budiman tak kuasa menahan air mata ketika dia sudah berdiri di samping tubuh Mbah Karim.

"Mbah, aku datang. Aku Budiman, Mbah," bisik Budiman.

Dan tubuh lemah di bawah kain sorban itu tak kuasa memberi tanggapan apa pun.

"Laa ilaaha illallah.. Laa ilaaha illallah… ” bisiknya lagi.

Kemudian dia terduduk di tepi bale-bale bambu. Masih terlihat samar denyut nadi di pergelangan tangan Mbah Karim. Masih ada gerakan nafas halus naik turun di dada. Namun Budiman merasa Mbah Karim, sudah tak mampu lagi berkomunikasi dengan siapa pun.

Untuk beberapa saat Budiman baru menyadari di mana dan pada keadaan bagaimana dirinya kini berada. Gemuruh emosi di dadanya semakin memuncak. Namun sejenak desah yang berat menandakan dia telah berhasil mengendalikan segala gejolak jiwanya.

Lihat selengkapnya