DAUN JATI BERBISIK

DENI WIJAYA
Chapter #3

KERETA JAWA #3

Keesokan hari, menjelang siang, banyak warga yang melayat mengiringi keberangkatan jenazah Mbah Karim menuju tanah pemakaman yang terletak di perbatasan desa. Semut-semut merah pun merasa terusik oleh iring-iringan para pelayat, hingga berhamburan menyelamatkan diri di bawah gundukan tanah liat dengan akar rumputnya yang kuat.

Iring-iringan kereta jawa itu pun terus melaju, seolah tak menghiraukan sumpah serapah semut-semut merah tersebut. Hingga tibalah mereka di tanah pemakaman. Dengan ritual dan tradisi pemakaman Islam Kejawen, ajaran Islam yang masih mencampur adukkan tradisi leluhur jawa di dalamnya. Doa-doa dipanjatkan mengiringi prosesi penguburan jenazah Mbah Karim ke liang lahat dengan semerbak wewangian dupa yang sengaja dibakar.

Terdengar suara gemuruh petir di langit yang nampak hitam tertutup awan. Sesekali terlihat kilat yang menyambar-nyambar bagai jemari sang maut. Membuat panik para pelayat. Dengan segera mereka menyelesaikan ritual terakhir pemakaman jenazah Mbah Karim, dengan ditandai penaburan bunga melati dan kenanga di atas gundukan tanah makam Mbah Karim.

Selesai pemakaman, orang-orang meninggalkan tanah pekuburan, masih dalam kebisuan. Hanya Budiman, Pratiwi, Mbok Paerah dan Surti yang masih tinggal. Hanya Paman Rusmaya yang nggak terlihat batang hidungnya sejak kemarin.

Mereka masih jongkok menghadapi gundukan tanah yang menimbun jasad Mbah Karim. Suasana sepi sekali sehingga terdengar jelas suara burung-burung, suara butir buah beringin yang jatuh menimpa dedaunan dan suara kumbang yang terbang hinggap pada bunga-bunga kamboja.

Budiman meremas tanah yang renyah, sedangkan Mbok Paerah seperti sedang menanti kesempatan buat mengatakan sesuatu. Dia memandangi nisan suaminya, tak terasa air matanya mengalir di sela-sela kulit wajahnya yang keriput. Selanjutnya pandangan matanya menuju kepada orang-orang di sampingnya. Dipandanginya mereka satu-satu, mereka terjebak dalam kebisuan yang mengharukan. Sejenak pandangannya terhenti pada sosok Budiman yang ada di hadapannya, masih dalam diam. Dengan suara lirih Mbok Paerah mengatakan suatu pesan terakhir dari Mbah Karim kepadanya.

“Iya, Mbok. Saya mengerti, insyaallah akan saya laksanakan pesan beliau, Mbok!” ucap Budiman.

Dengan mulut bergetar seperti tak kuasa jika harus meninggalkan pusara suaminya, Mbok Paerah berkata lagi, "Baiklah, mari kita pergi!”

Bergegas mereka pergi meninggalkan kuburan Mbah Karim kecuali Budiman yang masih setia di sana. Sepanjang jalan wajah Pratiwi dan Surti juga mengisyaratkan kedukaan yang mendalam.

Kilau cahaya matahari semakin memudar. Bingkai langit pun mulai tersamar. Perlahan meninggalkan lembaran biru yang sudah memucat. Entah bentuk apa yang terjadi sekarang. Yang jelas masih mengandung unsur seni yang tinggi. Pepohonan mulai lesu, meninggalkan cerita siang di sore itu. Semut-semut hitam pun sudah tampak tidak gelisah lagi. Kemudian Budiman berlari menuju belakang bukit yang dulu saat kecil sering dia datangi.

Hingga tak terasa matahari telah bergeser ke arah barat. Sinarnya tampak surut tergores waktu. Meninggalkan cahaya kuning kemerahan. Menyepuh wajah langit senja. Tak lama, semburat warna merah kekuningan di angkasa pun perlahan sudah digantikan warna hitam. Rembulan pun tampak malu-malu mulai menampakkan sosoknya sebagai sang penguasa malam dari balik bukit hutan jati Blora.

Senja itu telah berlalu, tetapi Budiman masih berada di sana. Dia pandangi bukit hutan jati yang sudah nampak gundul itu. Lama terpaku dalam diam, seiring berlalunya detik-detik jam meninggalkan siang. Hingga senja merambat tua, Budiman tetap belum juga beranjak, dia masih berdiri dan mematung. Bahkan sepertinya dia tidak mendengar seruan adzan Maghrib dari balik surau yang sudah tidak beratap seng di bawah lereng bukit itu. Namun sebuah sapaan membuyarkan lamunannya, menyadarkannya pada bergantinya waktu.

“Kang Budiman, jangan berdiri di sana terus, ayo pulang!” ajak Pratiwi.

“Iya, sebentar!” jawabnya singkat.

“Tiwi, kenapa mereka tega melakukan ini semua? Di mana bapakmu waktu kejadian itu?” tanya Budiman.

“Kang, aku sendiri juga nggak tahu bapak berada di mana saat kejadian pembakaran malam itu,” jawab Pratiwi.

“Seharusnya bapakmu harus selalu ada di samping Mbah Karim, kasihan dia sudah terlalu tua untuk menghadapi mereka!” tukas Budiman.

Lihat selengkapnya