Selepas menunaikan sholat Maghrib, Budiman tidak segera beranjak dari surau tua itu. Banyak kenangan yang terlalu sulit untuk dia lupakan di surau tua itu. Dipandanginya satu-persatu bagian bangunan surau, atapnya, dinding kayunya, lantainya, pintunya dan sumur tua di samping surau.
“Huft…!” Budiman mendengus berat.
Budiman beranjak keluar, kembali kedua bola matanya mengitari sekitar surau. Terlihat pelepah-pelepah pohon pisang yang tumbuh subur antara semak dan perdu di sekeliling sumur tua itu, seperti mempunyai daya hidup. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh hembusan angin malam seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Saat sesekali angin secara tiba-tiba bertiup lebih kencang, pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama gamelan.
Selain itu, batang pohon jati dengan cabang-cabangnya seperti cakar-cakar harimau yang kokoh dari terpaan angin kencang. Namun tidak demikian dengan daun-daun jati yang mengering.
Pada musim ketiga memang saatnya pohon jati memasuki fase adaptif yaitu meranggas dengan menggugurkan daun-daunnya. Rontok, berserakan mengotori tanah namun mereka tidak akan marah ataupun muak dengan sang angin. Meski memasuki musim ketiga, cuaca sering kali mendadak berubah. Hujan kadangkala turun yang disertai dengan angin kencang yang bertiup menyibak awan.
Matahari telah bergeser ke arah barat. Sinarnya tampak surut tergores waktu. Meninggalkan cahaya kuning kemerahan. Menyepuh wajah langit senja. Tak lama, semburat warna merah kekuningan di angkasa pun perlahan sudah digantikan warna hitam. Rembulan pun tampak malu-malu mulai menampakkan sosoknya sebagai sang penguasa malam. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon jati itu pun seakan hendak rebah ke tanah.
Selintas kembali pandangannya mengarah ke surau tua di tengah hamparan perkebunan pohon jati di perkampungan, yang sebentar lagi mungkin akan roboh dimakan usia. Tiang-tiangnya pun sudah mulai lapuk dan tak beraturan, dindingnya sudah mulai menipis dimakan rayap-rayap liar, sementara lantainya sudah dipenuhi lubang-lubang aneka bentuk.
Suara adzan pun seperti kehilangan maknanya, sekedar mengingatkan waktu sholat sudah tiba, meski masih ada warga desa yang melaksanakan ritual ibadah, namun tidak seramai dulu, tak ada suara anak-anak desa yang belajar mengaji, tak ada lafadz ayat suci yang dikumandangkan imam sholat, tak ada apapun yang bisa di temui di surau tua yang ditinggalkan ini.
Namun kini hanya tinggal sebuah bangunan tua kosong yang hanya dipenuhi debu-debu yang dibawa angin bukit Randublatung yang setiap harinya turun, entah berapa lama lagi surau tersebut dapat berdiri kokoh di tempat itu, mungkin sebentar atau besok dirinya tak dapat menyaksikan surau itu lagi, hanya akan menjadi cerita masa lalu yang seolah ikut terkubur bersama sang waktu.
Budiman merasa sedih. Cukup lama Budiman terpaku mengingat kembali kenangan beberapa musim yang lalu saat surau ini begitu hidup. Bukan hidup dalam arti sebenarnya, tapi begitu hidup karena sebelum senja, bocah-bocah sudah berkumpul, bercengkrama di beranda surau sambil menunggu adzan dikumandangkan.