Mengakhiri sebuah bait dhandhanggula, Pak Munir menghentikan kedua tangannya yang kemudian terkulai lemas di atas deretan bilah gambang. Kepalanya tertunduk karena dalam hatinya masih tersisa kemesraan dengan Yang Maha Kuasa. Kemudian dengan perlahan Pak Munir bangkit meninggalkan gambangnya lalu duduk di bangku panjang. Lelaki paruh baya itu sedang menggulung rokok dan istrinya sedang membersihkan bibir dengan susur dan pada saat yang sama, dari luar terdengar seseorang terbatuk.
“Siapa di luar?” tanya Pak Munir.
“Saya, Budiman!” jawab Budiman.
“Oh, kamu? Silakan masuk!” kata Kyai Salim.
Pintu berderit dan Budiman pun bergegas masuk.
“Assalaamu’alaikum!” salam Budiman.
“Wa’alaikumsalam!” jawab Pak Munir beserta istrinya hampir bersamaan.
Pak Munir mempersilakan Budiman duduk di kursi kayu di seberang meja. Budiman tersenyum namun kegelisahan hati tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Lain dengan Pak Munir yang tersenyum lebar dan wajahnya tetap jernih.
“Budiman, bapak senang melihatmu kembali pulang. Kasihan kakekmu. Bagaimana perjalananmu?” tanya Pak Munir.
“Alhamdulillah, lancar, Pak!” jawab Budiman.
“Kapan kamu datang?” tanya Pak Munir lagi.
“Kemarin siang, Pak!” jawab Budiman.
“Bapak turut belasungkawa atas kepergian Mbah Karim,” ucap Pak Munir.
“Terimakasih, Pak. Tapi aku nggak melihat kehadiran Pak Munir tadi saat prosesi penguburan kakek,” sahut Budiman.
“Aku tadi datang melayat. Kulihat kamu masih sibuk. Budiman, kasihan kakekmu, di usianya yang senja, beliau masih harus menghadapi para cecunguk itu, yang seolah tak mau menyerah membujuk para warga untuk menjual lahannya!” balas Pak Munir.
“Pak, apa benar Paman Rusmaya mencalonkan diri jadi kepala desa?” tanya Budiman.
“Iya, benar. Pamanmu tetap bersikeras ikut maju dalam pemilihan calon kepala desa meski dia tahu lawan yang dihadapinya, juragan Umar!” jawab Pak Munir.
“Hmm.. Pak, dulu sebelum keberangkatanku ke Jakarta, Paman Rusmaya berjanji nggak akan ikut campur dalam masalah seperti ini. Jujur, aku masih ragu dengan keputusannya maju dalam pilkades, pastilah ada sesuatu di balik semua ini,” ujar Budiman.
“Budiman, apa kamu sudah coba menemui pamanmu?” tanya Pak Munir.
“Belum. Sejak kedatanganku kemarin siang, aku tidak melihat Paman Rusmaya. Bahkan ketika kutanyakan pada Mbok Paerah pun, beliau juga nggak tahu,” jawab Budiman.
“Tiwi pun juga nggak tahu kemana bapaknya pergi, bahkan di saat kebakaran itu terjadi. Ada yang aneh dengan kejadian ini? Dan kemana pula perginya Paman Rusmaya? Hingga kakek menghembuskan nafas terakhirnya, dia tidak juga menampakkan batang hidungnya!” lanjut Budiman geram.