Sebelum kita bisa menamai rasa, kita sudah lebih dulu mengalaminya. Sebelum tahu apa itu kecewa, kita sudah pernah menangis dalam diam karena tak dijemput tepat waktu. Sebelum tahu arti cinta, kita sudah mencari tangan yang hangat untuk digenggam di tengah keramaian yang asing. Masa kecil bukan tentang ingatan yang jelas, melainkan tentang jejak yang diam-diam tertinggal dalam cara kita bicara, dalam cara kita takut, dalam cara kita mencintai. Dunia pertama kita bukan bumi yang luas, tapi ruang sempit bernama rumah, pangkuan, suara ibu, dan cahaya sore yang masuk dari sela jendela. Tunas tak pernah bertanya untuk tumbuh ia hanya mencoba bertahan, meski tanahnya belum sepenuhnya ramah. Dan barangkali, itulah kita saat itu: makhluk kecil yang diam-diam berjuang memahami dunia yang tak selalu menjelaskan dirinya sendiri. Dalam bab ini, kita akan menyusuri kembali tanah awal tempat kita bertunas. Mungkin luka pertama kita tidak besar, tapi cukup untuk membuat kita berubah. Mungkin cinta pertama kita tidak diingat, tapi cukup untuk membuat kita mencari sepanjang hidup. Karena sebelum semuanya menjadi rumit, kita dulu pernah sederhana dan jujur.
“Di Pangkuan Ibu”
dunia pertamaku bukan bumi,
tapi pangkuan ibu yang hangat
tempat segala takut mencair
tanpa perlu dijelaskan,
tanpa perlu dimengerti—cukup dirasa.
di sana tak ada pertanyaan,
hanya detak jantung yang pelan
seperti doa yang tak terdengar,
tapi selalu sampai
meski tanpa suara.
aku tak ingat wajah ibuku waktu itu
tapi aku ingat rasanya—
seperti matahari yang tak menyilaukan,
hanya menghangatkan
dan membuatku ingin tinggal lebih lama.
aku belum tahu dunia bisa kejam
karena ibu membuat segalanya terasa mudah.
bahkan ketika aku menangis,
tangannya tidak marah—
ia hanya memeluk lebih erat.
dan mungkin,
itulah rasa aman paling murni
yang tidak bisa dikembalikan
oleh siapa pun selain dirinya sendiri.
aku tumbuh dari pelukan
yang tak pernah minta balas.
Dalam pelukan pertama itu, kita tak mencari makna—hanya rasa aman. Kita belum tahu arti kehilangan, karena belum pernah dilepas. Tapi justru di situlah awal dari segalanya: kepercayaan, harapan, bahkan rasa takut yang nantinya tumbuh. Dunia terasa cukup saat ada kehangatan. Dan mungkin, selama hidup, kita hanya berusaha menemukan kembali rasa itu. Dalam bentuk lain. Dalam pangkuan yang berbeda.
“Tangisan Pertama yang Tidak Kuterjemahkan”
aku menangis tanpa tahu sebab
dan dunia segera menutup telinga
katanya: “sudah, diam.”
seolah tangisan adalah dosa kecil
yang harus cepat-cepat ditutup selimut.
mereka tidak tahu
aku menangis bukan karena takut,
tapi karena ada yang hilang
sebelum aku sempat menyebutnya.
dan aku tak tahu cara bertanya.
tangis itu bukan lemah
itu hanya bentuk dari kata
yang belum belajar jadi suara.
tapi dunia ingin semuanya jelas—
secepat mungkin.
jadi aku belajar menahan
bukan karena aku kuat,
tapi karena aku diminta begitu.
dan lama-lama,
aku lupa bagaimana caranya menangis dengan jujur.
air mata jadi rahasia
yang hanya keluar
saat lampu sudah mati
dan semua orang mengira
aku sedang tidur.
dan sejak itu,
aku belajar jadi tenang—
bukan karena bahagia,
tapi karena tak ingin ditanya:
“kenapa kamu menangis lagi?”
Menangis adalah bahasa pertama yang tak perlu diajarkan. Tapi saat kita mulai tumbuh, kita justru diajari untuk berhenti melakukannya. Seolah diam adalah tanda kedewasaan, dan sedih harus disembunyikan. Maka kita belajar menjadi tenang, bukan karena tak merasa, tapi karena tak boleh menunjukkan. Dan perlahan, dunia menjadi tempat yang ramai tapi penuh kesunyian. Tangisan yang tak diterjemahkan itu kemudian menjadi akar dari hal-hal yang tak pernah kita ceritakan pada siapa-siapa.
“Rumah adalah Suara Dapur”
rumah bukan tentang cat tembok,
atau ukuran ruang tamu,
tapi tentang suara panci
dan ibu yang bertanya,
“sudah makan belum?”
aku ingat pagi hari
dengan aroma nasi baru matang,
sendok-sendok yang saling bersenggolan,
dan suara seret kursi kayu
yang membuatku merasa pulang.
rumah tidak selalu utuh
kadang bocor, kadang berisik,
tapi selalu ada sudut
yang bisa kupeluk diam-diam
saat hari terasa panjang.
aku rindu suara gelas dicuci
lebih dari rindu pada siapa pun,
karena dari sanalah aku tahu
bahwa kehidupan tetap berjalan
meski hati sedang hancur.
rumah adalah bunyi