Daun yang Pernah Bernama Luka

Muhammad Agra Pratama Putra
Chapter #1

Tunas: Ketika Dunia Baru Dimulai

Sebelum kita bisa menamai rasa, kita sudah lebih dulu mengalaminya. Sebelum tahu apa itu kecewa, kita sudah pernah menangis dalam diam karena tak dijemput tepat waktu. Sebelum tahu arti cinta, kita sudah mencari tangan yang hangat untuk digenggam di tengah keramaian yang asing. Masa kecil bukan tentang ingatan yang jelas, melainkan tentang jejak yang diam-diam tertinggal dalam cara kita bicara, dalam cara kita takut, dalam cara kita mencintai. Dunia pertama kita bukan bumi yang luas, tapi ruang sempit bernama rumah, pangkuan, suara ibu, dan cahaya sore yang masuk dari sela jendela. Tunas tak pernah bertanya untuk tumbuh ia hanya mencoba bertahan, meski tanahnya belum sepenuhnya ramah. Dan barangkali, itulah kita saat itu: makhluk kecil yang diam-diam berjuang memahami dunia yang tak selalu menjelaskan dirinya sendiri. Dalam bab ini, kita akan menyusuri kembali tanah awal tempat kita bertunas. Mungkin luka pertama kita tidak besar, tapi cukup untuk membuat kita berubah. Mungkin cinta pertama kita tidak diingat, tapi cukup untuk membuat kita mencari sepanjang hidup. Karena sebelum semuanya menjadi rumit, kita dulu pernah sederhana dan jujur.

“Di Pangkuan Ibu”

dunia pertamaku bukan bumi,

tapi pangkuan ibu yang hangat

tempat segala takut mencair

tanpa perlu dijelaskan,

tanpa perlu dimengerti—cukup dirasa.

di sana tak ada pertanyaan,

hanya detak jantung yang pelan

seperti doa yang tak terdengar,

tapi selalu sampai

meski tanpa suara.

aku tak ingat wajah ibuku waktu itu

tapi aku ingat rasanya—

seperti matahari yang tak menyilaukan,

hanya menghangatkan

dan membuatku ingin tinggal lebih lama.

aku belum tahu dunia bisa kejam

karena ibu membuat segalanya terasa mudah.

bahkan ketika aku menangis,

tangannya tidak marah—

ia hanya memeluk lebih erat.

dan mungkin,

itulah rasa aman paling murni

yang tidak bisa dikembalikan

oleh siapa pun selain dirinya sendiri.

aku tumbuh dari pelukan

yang tak pernah minta balas.

Dalam pelukan pertama itu, kita tak mencari makna—hanya rasa aman. Kita belum tahu arti kehilangan, karena belum pernah dilepas. Tapi justru di situlah awal dari segalanya: kepercayaan, harapan, bahkan rasa takut yang nantinya tumbuh. Dunia terasa cukup saat ada kehangatan. Dan mungkin, selama hidup, kita hanya berusaha menemukan kembali rasa itu. Dalam bentuk lain. Dalam pangkuan yang berbeda.

“Tangisan Pertama yang Tidak Kuterjemahkan”

aku menangis tanpa tahu sebab

dan dunia segera menutup telinga

katanya: “sudah, diam.”

seolah tangisan adalah dosa kecil

yang harus cepat-cepat ditutup selimut.

mereka tidak tahu

aku menangis bukan karena takut,

tapi karena ada yang hilang

sebelum aku sempat menyebutnya.

dan aku tak tahu cara bertanya.

tangis itu bukan lemah

itu hanya bentuk dari kata

yang belum belajar jadi suara.

tapi dunia ingin semuanya jelas—

secepat mungkin.

jadi aku belajar menahan

bukan karena aku kuat,

tapi karena aku diminta begitu.

dan lama-lama,

aku lupa bagaimana caranya menangis dengan jujur.

air mata jadi rahasia

yang hanya keluar

saat lampu sudah mati

dan semua orang mengira

aku sedang tidur.

 

dan sejak itu,

aku belajar jadi tenang—

bukan karena bahagia,

tapi karena tak ingin ditanya:

“kenapa kamu menangis lagi?”

Menangis adalah bahasa pertama yang tak perlu diajarkan. Tapi saat kita mulai tumbuh, kita justru diajari untuk berhenti melakukannya. Seolah diam adalah tanda kedewasaan, dan sedih harus disembunyikan. Maka kita belajar menjadi tenang, bukan karena tak merasa, tapi karena tak boleh menunjukkan. Dan perlahan, dunia menjadi tempat yang ramai tapi penuh kesunyian. Tangisan yang tak diterjemahkan itu kemudian menjadi akar dari hal-hal yang tak pernah kita ceritakan pada siapa-siapa.

 

“Rumah adalah Suara Dapur”

rumah bukan tentang cat tembok,

atau ukuran ruang tamu,

tapi tentang suara panci

dan ibu yang bertanya,

“sudah makan belum?”

aku ingat pagi hari

dengan aroma nasi baru matang,

sendok-sendok yang saling bersenggolan,

dan suara seret kursi kayu

yang membuatku merasa pulang.

rumah tidak selalu utuh

kadang bocor, kadang berisik,

tapi selalu ada sudut

yang bisa kupeluk diam-diam

saat hari terasa panjang.

aku rindu suara gelas dicuci

lebih dari rindu pada siapa pun,

karena dari sanalah aku tahu

bahwa kehidupan tetap berjalan

meski hati sedang hancur.

rumah adalah bunyi

Lihat selengkapnya