Liana hanya tersenyum simpul ketika melihat sabahatnya sudah sampai di coffee shop lebih cepat setengah jam. Padahal sebelum ia berangkat part time, sudah memberitahukan pukul berapa dirinya selesai bekerja. “Tumben kamu datang pagian, padahal aku sudah beritahu jam selesainya. Masih sepuluh menit lagi, nunggu lo kamu nanti."
Kirana terkekek, sembari menunjukan layar ponselnya. “Ngincer promo rupanya,” balas Liana yang bertugas menjadi kasir langsung mengetikan kode promo yang tertera di ponsel Kirana. “Sebutkan pesananmu dalam tiga puluh detik,” gurau Liana yang membuat Kirana panik seketika. Gelak tawa Liana pecah ketika sahabatnya paniknya bukan main sampai Kirana kesusahan menyebutkan dua jenis minuman yang hendak dipesannya.
“Belepotan ngomongnya.” Kirana malu dengan ejekan Liana.
Liana terkikik lagi, sambil mengulang pesanan Kirana. “By the way, kamu rakus banget ya. Minum dua gelas sekaligus.”
“Satunya buat kamu kali,” jawab Kirana sembari menerima kembalian uangnya. “Aku tunggu di meja pojokan.” Kirana meninggalkan kasir dan duduk manis menunggu selesainya part time sahabatnya itu. Di pojokan, Kirana sangat gelisah setengah mati. Pelanggan yang sedang dilayani sahabatnya adalah Raditya—sang biang onar di kampus. Semoga dia enggak kenal sama Liana atau aku. Beribu-ribu kali Kirana menyebutkan permohonan itu hingga tanpa disadarinya Liana sudah duduk manis dan meminum chocolate pesanan Kirana.
“Yang barusan kamu layani itu Raditya dan gengnya.” Liana mengemasi ponselnya dan mencabut chargenya. “Kita pergi dari sini. Aku enggak mau mereka mengenali kita.” Kirana menarik Liana meninggalkan coffee shop segera.
Kedua gadis itu terengah-engah ketika sudah mencapai foodcourt. “Apa kita perlu pindah mall?” Liana menghela nafas, sifat paranoidnya Kirana kambuh lagi. Sahabatnya itu selalu melebih-lebihkan hal yang biasa saja. Mungkin Raditya seperti yang dikatakan orang-orang, tapi lelaki itu bukan bintang buas ataupun sedang mengidap penyakit menular sekaligus mematikan bila bertatapan.
“Enggak usah. Kita enggak bakal ketemu. Mall ini luas, toh kalau ketemu enggak mungkin kelihatan, hari ini weekend banyak pengujung. Kalau kamu maksa pindah mall, butuh satu jam perjalanan. Kamu mau waktumu habis dijalan dan enggak jadi shopping?” Kirana menggeleng cepat dan menyetujui usulan Liana untuk segera berburu baju sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.
Satu persatu toko dimasuki oleh kedua gadis itu. Gelak tawa dan beberapa komentar jorok membuat geleng-geleng kepala para pegawai toko yang mengetahui Kirana sedang mencoba baju seksi, kemudian menanyakan kecocokannya pada Liana. Kebetulan hari ini, Kirana memfokuskan dirinya untuk mencari baju pesta untuk menghadiri acara formal keluarganya.
“Kamu mau ke pesta atau ke clubbing. Mamamu pasti bakal ngomel panjang lebar.” Liana tahu benar mama Kirana enggan melihat anaknya menggunakan pakaian yang terbilang seksi, itu sama saja akan mengundang mata serta tangan mesum nantinya. Kirana menutup pintu ruang pas, terlebih dahulu mengganti pakaian lainnya, sebelum memutuskan baju mana yang akan dibelinya. Hampir satu jam, Kirana menghabiskan waktu untuk mencoba semua dress. Terpilihlah tiga dress yang memikat hatinya. Ia buru-buru meninggalkan ruang pas, mencari Liana untuk membantunya memilih.
“Hitam.” Keduanya serempak mengucapkan warna yang sama.
“Kita sepemikiran, bukan?” Kirana menimpalinnya.
Jam sudah menunjukan jam makan malam sudah tiba, mereka harus mengisi perut terlebih dahulu setelah puas berbelanja tadi. “Kita makan apa?” tanya Kirana sembari berkeliling foodcourt. Hamper setengah jam mereka berkeliling hanya untuk menentukan resto mana yang akan didatangi mereka.
Seorang resepsionis menghampiri mereka ketika berada didepan resto makanan Jepang yang ternama. Resepsionis tersebut cukup menarik perhatian perut Kirana melalui gaya bicaranya yang menggugah selera makan gadis itu. “Li, kita makan disini.” Kirana memutuskan tanpa menunggu jawaban Liana. Kebiasaan, selalu ambil keputusan sendiri.
“Teriyaki bento dan mozzarella crab sushi. Minumnya teh ocha aja.” Waiter mencatat sekaligus mengulanginya saat pesanannya sudah tertulis lengkap di kertas yang dibawanya, lalu meninggalkan mereka. Obrolan random muncul dari mulut Kirana, Liana yang mendengarkan hanya bisa terkikik hingga perutnya kramnya bukan main. Gelak tawa di bilik samping kedua gadis itu duduk sangatlah ricuh. Gelak tawa bahkan ocehan kotor pun terlontar dari sana.
Kirana lagi-lagi mengenali suara itu. Ya, suara Raditya and the gang. “Sial, kenapa aku lupa ya kalau gang itu ada di mall ini? Harusnya aku check dulu.”