Tentu, saya akan membantu Anda memperbaiki tanda baca dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar pada teks tersebut:
"Papa! Aku mau pulang!" teriak Andi yang makin keras, tatkala saat para zombie mulai berhasil meretakkan bagian kaca pintu.
Alex yang melihat situasinya saat ini benar-benar tidak menguntungkan, ia segera mempercepat gerakannya untuk mengambil insulin dan membuat beberapa insulin pecah ke lantai. Lalu, ia kembali menggendong ranselnya dan menggendong Andi di dalam rangkulannya.
Dengan buru-buru, ia berlari ke sisi jendela yang saat ini berada di lantai dua. Cukup lama ia terdiam sejenak dengan tatapan hampa menatap luar jendela, sampai keberuntungan berpihak pada Alex, entah mengapa mendadak saja ide gilanya muncul, dan segera ia pecahkan kaca jendela ruangan itu dengan vas bunga yang ada di dekatnya.
"Papa, apa yang akan kau lakukan?" tanya Andi yang memeluk erat Ayahnya itu. Tapi sepertinya Alex benar-benar tak punya waktu untuk menjelaskan apapun kepada Andi.
Ia lebih sibuk mendongak keluar jendela dan melihat situasi di bawah saat ini. Saat ia sudah benar-benar yakin bahwa situasi di bawah sedang sepi dan aman, baru lah ia meraih beberapa taplak meja di ruangan dan diikatkannya juga dengan gorden jendela sampai membentuk tali yang cukup panjang untuk turun dari ketinggian lantai dua gedung Rumah Sakit.
Dengan nafas yang mulai kelelahan, Alex menatap mata Andi.
"Tutup saja matamu sekarang dan peluk Papa erat-erat!" tukasnya kepada Andi dengan tegas.
Andi hanya bisa mengangguk pelan saja kali ini tanpa berniat menanyakan apapun kepada Alex. Namun, keheningan itu tak berhenti lama, sebab Andi kembali berteriak ketakutan saat menatap para Zombie yang sudah berhasil menerobos masuk ke dalam.
Dan dengan jantung yang berdetak tak karuan, Alex segera memegang erat tali yang menjulang ke bawah itu dan mencoba menenangkan Andi yang terus-terusan berteriak memanggil namanya.
"Jangan berteriak, Andi! Mereka bisa mendengarkan kita." Alex masih berusaha menuruni lantai dua dengan hati-hati, ia biasanya tidak pernah setakut ini untuk turun hanya dengan mengandalkan tali. Entah kenapa rasanya jauh lebih menegangkan saat ia harus menggendong putranya menuruni lantai dua dengan tali, seolah-olah ia takut bahwa putranya bisa saja terluka ataupun terjatuh.
"Arghh.." Terdengar suara kelaparan dari para Zombie yang sudah berhasil menerobos pintu dan berhamburan berlari ke arah jendela dan saling berkerumunan untuk turun mengejar Alex.
"Tuhan, bantulah kami!" gumam pelan Alex sembari mulai mempercepat langkah turunnya sebelum teriakan zombie itu semakin mengundang kawanannya yang lain.
"Brukk.." Suara langkah kaki yang mendarat tepat di tanah dan memberikan sedikit rasa puas di hati Alex. Akan tetapi, rasa puas itu perlahan-lahan memudar saat teriakan Zombie mulai semakin kencang mengundang para Zombie lain yang sejak awal berada di luar Rumah Sakit.
Hal ini membuat Alex mau tak mau harus kembali berlari kencang menjauhi rumah sakit, seraya mencoba menghubungi kembali rekan kerjanya.
"Halo, Fandy!" teriaknya.
"Sersan? Syukurlah kau baik-baik saja, aku kira kau sudah mati."
"Tidak perlu basa-basi, Berikan saja aku bantuan sekarang!" perintah tegas Alex pada rekan sekaligus bawahannya itu.
"Maafkan aku, Sersan. Tapi kota itu telah dikarantina sejak tadi pagi. Dan Pemerintah sudah mengeluarkan pengumuman darurat bahwa kota itu akan segera dibom habis tiga hari lagi."