1
Jakarta, 2012
Bangunan itu seakan berdiri menatapku dengan angkuh setelah sekian lama kutinggalkan. Dibangun di awal tahun 1980, warga sekitar di masa silam sering menyebutnya sebagai “rumah alien” karena bentuknya yang unik. Berbeda sendiri dari deretan rumah tinggal lain di area komplek. Arsiteknya begitu senang bermain dengan bentuk-bentuk geometris yang ganjil. Sudut tembok yang dibuat melengkung, dengan lubang-lubang ventilasi dan jendela-jendela berkaca gelap yang mengambil bentuk persegi, segitiga dan lingkaran. Atapnya tidak berbentuk limas seperti biasa, melainkan berupa garis diagonal yang menukik tajam.
Papa adalah seorang arsitek kenamaan pada masanya. Dialah perancang rumah masa kecilku. Tangannya sendiri yang menggambari denah rumah impian bagi keluarga kecilnya, lalu tidak alpa mengawasi proses pembangunannya.
Berbeda dari bangunan rumahnya, sama sekali tidak ada yang ganjil dari halaman rumputnya yang cukup luas. Pohon-pohon mangga masih berbaris rapi di balik pagar. Tanaman suplir, anggrek dan kembang sepatu yang dahulu ditanam mendiang Mama pun masih menghiasi pekarangan. Aku ingat dahulu lebih senang bermain di pekarangan luar daripada menghabiskan waktu terkurung di dalam rumah itu. Rumah masa kecil semestinya sarat dengan rasa nostalgia yang membangkitkan kenangan-kenangan awal yang manis dan hangat. Tetapi hanya ada aura dingin dan angkuh yang kudapati dari bangunan rumah yang menjulang di hadapanku kali ini.
Ketika langkah kakiku semakin mendekati muka rumah, jantungku mulai berdebar. Pintu rumah dari kayu mahogani dan ubin teraso di teras juga masih sama persis seperti yang terekam di dalam ingatan. Rumah ini seakan tidak tersentuh oleh pesatnya perubahan yang terjadi di dunia luar. Meski hampir tiga dekade telah berlalu.
Siapa menyangka, perjalanan hidup kembali membawaku ke sini.
Kali ini aku tidak datang sendiri. Rembulan, putri kecilku yang baru berusia enam tahun, ikut menemani. Menjinjing satu koper di tangan kanan, kutengok ke arah belakang. Rembulan berdiri beberapa langkah di belakangku, enggan beranjak. Ia seperti terpaku di tempat.
“Kenapa? Tidak apa-apa, yuk,” ucapku kepada putriku.
Aku berusaha menegarkan dirinya, padahal sesungguhnya akulah yang membutuhkan kekuatan dari dirinya. Aku butuh meraih tangan kecilnya itu.
Satu tangan Rembulan mendekap boneka kesayangannya yang sudah kumal karena dibawanya kemanapun. Meski tetap ragu, ia akhirnya menggerakkan kakinya mengikutiku. Tanganku digenggamnya.
Aku tahu perasaannya, meski belakangan tak pernah lagi diungkapkannya. Ia takut jika kakeknya yang belum pernah ditemuinya akan menolak keberadaan dirinya.
“Siapa yang tidak akan menyukai gadis semanis dirimu?”
Kupeluk tubuh mungilnya usai menceritakan tentang rencanaku mengajaknya kemari.
Gadis manis yang bisu.
Mata bulatnya menatapku sangsi, mungkin membaca ketidakyakinanku sendiri. Sanggupkah dia melihat bahwa di balik topeng ketegaranku, sekujur tubuhku gemetar? Meski begitu, jauh di lubuk hati, aku masih menyimpan asa. Kalaupun Papa menolak kehadiranku, semoga saja dia tak sampai hati untuk menolak keberadaan cucunya. Cucu semata wayangnya.
Kueratkan genggaman tangan kami. Bersama-sama, kita tentu bisa menghadapi apapun. Dengan telunjuk bergetar, bel yang terpasang di sisi pintu kupijit. Tak lama terdengar langkah tergopoh-gopoh dari dalam.
Ketika pintu mahogani itu terbuka, tampak sesosok wanita tua dengan tubuh pendek gempal yang kuyakini sebagai pembantu rumah. Kedua matanya tampak melotot sesaat, sebelum akhirnya berseru.
“Ah, akhirnya. Non Dayu kemari.”
Rembulan seketika bersembunyi ke balik punggungku. Kurasakan tangannya mengeratkan rangkulannya ke pinggangku.
“Trus, ini siapa? Wah, cantik sekali persis ibunya,” ucap pembantu rumah, mencoba menyapa.
“Rembulan.”
Putriku tidak pernah bicara di hadapan orang asing, tentu saja. Aku yang menjawab.