De La Lu Na

Adiba
Chapter #1

Pronostica (Ramalan)

TENG

TENG

TENG

Dentang lonceng tua nan berdebu kala jarum jam menunjuk angka dua belas.

Tahun baru tiba. Meja emas di antara dua orang, yang satu berambut putih dan yang lain kisaran umur kepala empat, menjadi saksi bisu dibacakannya pronostica, petuah Sir Zein yang setiap tahunnya diberikan kepada pemimpin pulau kecil, Na’s Adras. 

Sebuah pulau bahkan tidak ada yang tahu bentuknya kenampakan dari atas. Tanah subur yang menjadi kehidupan, orang orang menyapa menyebut tempat tinggal mereka adalah Na's Island.

Empat mutiara mengelilinginya.

Mata air sukma di sebelah utara menjadi cermin masa emas.

Hutan rimba dengan pohon berbaris nan menari di selatan kunci kesuburan dan menjadi arti sejuk.

Pegunungan praja di timur menjulang tinggi nan gagah menantang mentari pagi ufuk.

Bukit hijau dandelion impian ber permadani rumput karana menjadi pintu terbenam surya.

Elemen elemen terlukiskan di pigura perak yang dipajang berjejer di tembok ruangan ini.

“Ariane. Jangan biarkan dia menikah. Keturunannya, akan membunuhmu” setelah diam cukup lama, kalimat itulah yang diucapkan Sir Zein. 

Adras berfikir dalam diamnya. Jika Ariane, putri semata wayangnya tidak punya buah kasih, siapa yang akan mewarisi Na’s Island ini waktu dirinya sudah tua nanti?

Akan tetapi, ego Adras merasukinya karena takut mati. Hatinya berkata tak tega apabila tidak bisa melihat masa keemasan Na’s Island di generasinya.

Na's Adras bukanlah raja. Para penduduk di Pulau memilihnya menjadi orang yang dianggap paling. Kepiawaiannya memecahkan masalah hingga kepandaiannya yang mencetuskan sistem demokrasi pulau, menghasilkan otonomi yang menjadi peraturan bagi daerah otonom.

Selama kurang lebih 20 tahun, Na's Island selalu dalam kebahagiaan sampai sampai banyak orang yang mengkhawatirkan akan datang badai besar atau langit mendung yang iri pada kedamaian pulau cantik ini.

 

***

Di depan cermin bersudut kanan mutiara bintang berbentuk bulan purnama, seorang gadis cantik berkuku jari manis merah muda tengah menyisir rambut panjang gelapnya. Kulit putih bersihnya dan wajah merona merah muda kontras dengan warna kulit ayahnya yang sawo matang. Mungkin anak perempuan ini lebih memiliki kemiripan dengan ibundanya yang kini tenang di atas sana.

“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu,” suara lembut pelayan terdengar dari balik pintu. Gadis yang dipanggil Ariane itu menghentikan kegiatannya di meja rias dan beranjak untuk membukakan pintu kamarnya.

“ada apa, Ayah?” tanya Ariane selepas membuka pintu berwarna putih itu.

“kemasi barang barang mu. Mulai nanti malam, kau tidur dekat dengan bintang di langit” jawab Adras tak meninggalkan kesan wibawanya.

“dimanakah itu, Ayah?” cicit Ariane takut merasa ada yang tidak beres.

“menara” singkat Adras memberi kode tersirat pada Ariane untuk bergegas.

***

Ariane yang kini genap berusia 17 Tahun tak berani melawan hanya sekedar bertanya mengapa. Disinilah dirinya sekarang. Berdiri memandang langit malam yang enggan menghadirkan bintang. 

“Na’s Ariane, saya membawa bunga terompet jingga yang engkau minta,” suara bariton membuyarkan lamunan Ariane.

“masuklah, Alex” si empu yang dipanggil namanya langsung membuka pintu kamar menara Ariane.

Lihat selengkapnya