De Na Nu La

Adiba
Chapter #1

Ferjitlikens (Hilang Ingatan)

"Lucas..."

Suara samar terdengar di telinga pemuda berkalung liontin bintang berbentuk bulan.

Tubuhnya terbaring tenang. Satu tarikan nafas bersamaan dengan jari telunjuk tangan kanannya bergerak perlahan. 

Matanya terbuka. Serasa kelopak ini terdiam kaku untuk waktu yang lama.

"Lucas?!" Panggilan dari pita suara yang sama, namun lebih tinggi nada dan mimik terkejut. 

Mengarahkan pandangannya, Lucas menemukan sepasang mata indah yang menatapnya haru penuh harap.

"Biru... muda..."lirih Lucas berkata dengan tenaga sebisanya, "berbeda dengan Na," lanjut laki-laki yang terlintas pikiran gadis bernama Na.

"Aku Na," menggenggam telapak tangan Lucas, perempuan yang sebenarnya bernama Lune ini berbagi kehangatan dengan kulit Lucas yang dingin. 

"Na yang lain. Aku melihatnya dan semua menjadi gelap..." Lucas menutup mata keras hingga dahinya berkerut, "Akhh!"

"Kau baik baik saja, Na's?" Khawatir Lune melihat tangan Lucas yang digenggamnya tiba tiba memijit kepala yang menjadi asal keluhan sakit itu.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu," setelah mengatur nafasnya, Lucas membalas pertanyaan Lune mengenai keadaannya, "aku memikirkan orang lain disaat bersamamu, Na."

"Jawab aku," tuntut Lune akhirnya. Dia tidak mengerti jalan pikiran Lucas yang selalu saja mementingkan perasaannya. Lucas terlalu mencintainya dan tidak mau kehilangannya atau bagaimana? 

"Aku merasa cukup baik dengan istirahat sejenak," Jawab Lucas akhirnya jujur dengan apa yang ia rasakan sekarang.

"Jangan terkejut, Na's. Biar aku beri tahu," jeda Lune membuat Lucas penasaran menunggu, "kau tidur selama 5 tahun."

Benar saja. Sejak kejadian itu. Malam penobatan pemimpin Pulau Na, Lucas telah koma selama setengah dasawarsa. Sir Dennis bimbang antara lega atau tidak. Lucas diperiksa baik-baik saja bahkan bisa mencerna makan yang disuapkan padanya, namun tidak kunjung sadar.

"5 tahun?!" Setelah berfikir agak lama, Lucas kembali menanyakan kebenaran mengenai waktu istirahatnya yang terbilang tidak sebentar itu.

"Setelah penobatan dan kau memberikan cincin padaku, tepat pergantian hari kau ditemukan pingsan di menara, Na's" Lune menjelaskan mengenai kronologi saat semua orang panik mencari Lucas yang menghilang dari aula utama.

"Maaf," mendengar kalimat panjang Lune, Lucas merasa bersalah, "5 tahun kau menunggu sendirian."

"Na's, aku baik baik saja," Lune kembali meyakinkan bahwa yang dikhawatirkan Lucas mengenainya itu berlebihan, "jangan meminta maaf karena kau tidak salah. Aku menunggumu itu artinya aku mencintaimu. Kau tidak perlu takut akan kehilanganku."

"Kenapa kau menjadi sangat terus terang mengenai perasaanmu, Na? Kau pastinya juga akan membenci dirimu sendiri karena kau bilang kau benci padaku yang selalu mengatakan ungkapan cinta padamu," dengan raut heran yang dibuat buat, Lucas sebenarnya ingin tertawa keras melihat pipi Lune yang memerah.

"Kau benar benar sudah sembuh," kesal dengan tanggapan Lucas, Lune menyindir tunangannya yang menyebalkan itu.

BRAK

"Untunglah kau sudah kembali," membuka pintu kamar keras tanpa permisi, saudara kembar Lucas, Luke berjalan masuk.

"kau tahu tidak?! Selama 5 tahun ini aku yang dibuat kesusahan," sampai di samping ranjang tempat Lucas terbaring, Luke melontarkan kekesalannya yang ia pendam sampai adiknya ini siuman, "Lebih baik bertarung menggunakan pedang daripada menyunting dan bosan pada tanda tangan."

Sesilia yang berdiri di sebelah Luke hanya menggelengkan kepala. Setelah para perawat yang tadi bersama Lune menjaga Lucas mengabarkan bahwa pemimpin pemerintahan Na's Island telah sadar, Luke langsung bergegas kemari.

"Apa itu?" Lucas menautkan alisnya heran kesal, "bukannya menyapaku manis malah mengeluh sinis," lanjutnya menatap kakak kembarnya seraya mengubah posisi tubuhnya untuk duduk bersandar, "Sesilia kasih dia bayi agar..."

"Ayah..." memotong ucapan Lucas, anak kecil bergaun kuning cerah selutut masuk berlari ke arah Luke, "kak Noa nakal! Dia menaruh daun gatal di kepang dua Nua," anak berumur lima tahun itu mendongak seraya bibirnya mengerucut sebal.

"Kak Noa itu baik. Membuatmu lebih cantik, " sahut laki laki seumuran anak kecil tadi juga mendekat ke tempat tidur Lucas yang tengah kebingungan.

"Cantik darimananya? Ini terlihat seperti pawang hutan," beralih menatap kakak kembarnya, tangan anak perempuan yang menggembungkan pipinya itu mengangkat rambutnya penuh daun kecil terselip di kepangan.

"Mereka...siapa?"

***

Lima tahun. Dalam waktu yang tak singkat itu banyak hal terjadi.

Lahirnya Noa dan Nua saja membuat Lucas memiringkan kepala. Baru bangun realita berkabar bahwa dia sudah menjadi paman. Lucas kesal sendiri. Dirinya ini masih muda. Belum juga menikah. 

"Kau yakin, Na's?" Lune bertanya sekali lagi meyakinkan niat laki laki yang menggenggam tanganya.

"Inilah waktunya," Lucas tidak akan menunda lagi. 

Kali ini mereka berjalan menyusuri koridor rumah istana. Tepat setelah catur keluarga pergi menikmati dunia indahnya sendiri, tangan Lucas meraih jari jemari Lune dan langsung mengajak menikah.

"Kau baru saja sadar. Masih ada waktu," Lune menghela nafas. Kenapa Lucas selalu membuatnya memutar otak?

"Aku tidak mau bertemu bulan bintang purnama lagi," Lucas menghentikan langkah dan menghadap ke arah Lune. Kedua tangannya bersinggah lembut di bahu perempuan bergaun merah muda bunga di depannya.

Sama dengan bunga mawar mekar di vas tinggi sepanjang dinding, Lune tersenyum tipis. Hatinya enggan penasaran akan kejadian malam itu.

Para pelayan dan penjaga juga ikut senang melihat Lucas sudah berjalan. Sir dewan yang tak sengaja berpapasan juga menyapa. Beberapa dari mereka terlihat asing bagi Lucas. 

Ya, lima tahun memang waktu yang tidak sedikit.

"Akhh!" saat satu kaki hendak naik ke kereta kayu kuda, Lucas merasakan pening di kepalanya.

"Na's, kau baik baik saja?" Lune yang sudah terlebih dulu duduk manis dekat jendela kereta kembali turun dan bertanya panik.

"Ya...aku hanya..." Lucas sejenak memejamkan mata, "malam itu, ada pesan aku harus bersamamu," sekelibat muncul memori namun tidak jelas.

"Ya, harus..." antara bimbang pesan itu perintah atau larangan, tapi Lucas menyimpulkan apa yang ia inginkan, "tidak mungkin aku meninggalkanmu."

Melihat lekat mata indah itu lagi, hati Lucas mencelos. Ada perasaan ragu jika akan mengucap janji suci bersama gadis manik biru muda di hadapannya.

Segera dialihkan pikiran itu. Bisa saja hanya efek waktu. 

Lihat selengkapnya