De Na Nu La

Adiba
Chapter #8

Guerra Voina (Perang Saudara)

Lantai tua tersembunyi. Ikut takut padahal dirinya bukan tersangka tragedi. Mata biru langit tajam mengadili.

Jubah dan kuku palsu merah muda.

Harta kotak kayu besi terukir.

Jangan salahkan bintang berbentuk bulan purnama. Dia sudah lelap berganti mata. 

Hanya satu jendela sebagai masuk cahaya. Benda entah tahun keberapa turut mistis memberi kesan. Pintu satu terowongan kelinci tutup diri pasrah tunduk pada jepit rambut terompet jingga.

Dandelion di bukit tidak akan memberi harapan kemari. Tersangka diam saja dieksekusi.

"Aku pembunuh."

Tunggu. 

Siapa?

Bukankah Na menatap marah dendam pada jubah dan kuku palsu merah muda? Mengapa dia yang mengaku menjadi tersangka?

Tembok berlumut menara hingga peti dekat ranjang utama dibuat memutar otak. 

"Aku pembunuh," masih dengan nada dingin tanpa ekspresi pasti, Na setia menatap benda di depannya bersila.

Na mencoba mengosongkan pikiran agar peristiwa kemarin tidak berulang.

Menyendiri tanpa memberi tahu orang lain. Ayah dan ibunya bukan prioritas pertama.

Kabur. Itu pilihannya.

Tidak salah memang, Na sendiri tak tahu apa yang terjadi sekarang. Apalagi masa dulu beberapa jam lalu.

Tidak ada yang tahu.

Empat kata itu menjadi penusuk hati Na. 

"Aku pembunuh!" Berkali kali kepalan tangan kanannya sengaja dipukulkan arah dada kiri.

Membawanya kesini.

Tak peduli lagi. Mau merengek minta peluk Ibu Leea? Yang benar saja! Ayah Noa akan marah karena Na bahkan tidak menolong Nua muda yang mati fana.

Setelah di pikir-pikir, ini lebih baik. Na sama sekali tidak terbayang keadaan luar menara rumah istana. 

Ini sudah pagi, dan putri mahkota belum menampakkan diri. Fakta itu pasti mengguncang padat kerja Sir Dewan.

Pemimpin Na's Island cemas. Memaksa bawahannya tersenyum lugas. Membawa kabar gembira, dengan waktu kurang dari lama.

Sudahlah. Na lelah. 

Kaki gadis berumur lima tahun itu bergerak membuat posisinya kini berdiri. Mata masih tajam menyorot benda hitam dan merah muda.

"Maksudmu apa?" Seringai senyum miring tak sadar muncul di mimik Na.

Heran tidak dilarang. Di pulau ini memang alih alih cantik, lebih tepat jika disebut misteri.

Ingin sekali kaki Na kini menedang kedua benda bukan miliknya itu terlempar keluar. Tapi akalnya masih berjalan mengingat bisa ketahuan jika ada sesuatu jatuh dari jendela.

"Tidak ada yang namanya kebetulan, semua terjadi karena suatu alasan." Pandangan Na untuk pertama kalinya teralihkan. Mata biru langit itu menyapu langit-langit tua penuh sarang laba-laba.

"Biar aku tanya suatu buku tebal tua," ucapnya kembali membuat peti kayu dan lumut hijau memiringkan kepala, "Na's Yraid."

Yang disebut tidak ada disini. Tertata rapih di balik batu mineral kuarsa atas lemari. 

Ada gravitasi yang menarik Na untuk membacanya daripada menghafal aksara kulina Zein, serta membuat Na penasaran melebihi air sumur perak Tirta yang tidak pernah habis.

Mengapa Na itu dikata berbahaya? Qoca dan Mga Aqsa akan murka? Sebenarnya siapa mereka? Na lelah mencari bulu domba.

"Maksudnya apa?!!"

TUUUOOAAAUUU

Bersamaan dengan kekesalan Na, terompet keong Na's Island dibunyikan.

"Apa yang terjadi?" Sama seperti tembok berlumut hijau dan peti kayu rapuh, Na mengerutkan kening bingung.

Sir Drapati belum pernah meniup terompet keong setahu Na. Ini artinya ada besar bahaya.

Alis murung bingung pikir keadaan. Situasinya janggal. Bukankah Na seharusnya tahu apa yang membuat genap tanggal?

***

"Na's Noa, Na's Leea. Sir Arsitea ingin menemuimu," pintu aula utama terbuka menampilkan satu Sir Dewan yang tidak hadir dalam rapat.

Semua mata tertuju padanya. Melotot sinis sampai rasis akibat simpang siyur isu desas-desus. 

Baru pertama kali juga pertemuan Sir Dewan melebihi gerak jarum jam besar di atas. Sepertinya tanda waspada terompet keong sudah benar berbunyi.

"Noa dan Leea, aku membawa pesan," tak perlu menyapa salam, malahan tatapan angkuh Sir Arsitea tampilkan.

"Sadarkah kau?! Tunduk berlutut cepat!" Sir Dennis geram berdiri. Memanggil tanpa marga? Orang gila itu benar-benar mencari perkara.

"Pesan dari Na's Leeo, pemimpin Na's Island," menghiraukan teriak teguran Sir Dennis, Sir Arsitea melanjutkan kalimatnya. 

"Apa?! Sadarlah dengan kata dari mulut lintahmu!" Sir Dennis mewakili perasaan rekan Sir Dewan. Menghilangkan rasa hormat, Sir Dewan tertua itu sudah bertindak kelewat.

"Serahkan penyusup itu, dan akan dibunuh hukum atau tak segan darah tumpah demi Pulau Na," mata Sir Arsitea tak menoleh pada Sir Dewan lainnya. Maniknya hanya tiba pada satu titik, singgahsana tengah. Tempat duduk saudara dan saudara kembar Leeo, tuannya.

"Sir Arsitea!" Leea membuka suara.

TAP

TAP

TAP

Ketika Noa mengambil langkah sigap maju pada Arsitea, isi petuah tata krama yang akan diutarakan Leea diurungkan. 

TAP

TAP

TAP

Hanya bunyi sepatu mengetuk lantai kayu. Sisanya diam layaknya tak ada manusia di ruangan.

Yang menjadi pusat perhatian ditunggu kelanjutan apa yang akan ia lakukan.

"Katakan," Noa telah sampai tujuan. Berhenti satu depa dari tempat Sir Arsitea berdiri, "apa yang sebenarnya terjadi," pelan lugas ucapannya memancarkan karisma. Wibawa memang turun tak jauh dari didikan dini. 

"Nua," setelah menghela nafas, Arsitea menjeda sejenak, "telah tiada," raut menunduk sopan kesedihan. Berbeda dengan tadi yang terlihat wanita perkasa tak takut mati.

Semua disana terkejut. Membeku ingin bertanya kelu. Bangunkan jika ini halu. Apakah hilangnya putri mahkota Na berhubungan dengan kabar barusan yang lucu?

"Tega kau suruh penyusup untuk masuk!" Kepala Sir Arsitea kembali terangkat. Kakinya mengambil satu langkah maju, "selamat rencanamu tamat."

Dingin dan penuh penekanan menantang mental. Jika bisa bergerak, lukisan pilar kehidupan empat wilayah di pigura ingin kabur dari tempat diamnya. Ini bukan salju. Tapi api yang membuat dingin membiru.

"Omong kosong," jawaban Noa semakin membuat alur bertanya-tanya. Apakah kehadirannya rumit untuk dimengerti?

"Hanya tipuan," Noa membalikkan keadaan dengan meragukan ucapan Sir Arsitea, "dimana kau sembunyikan putriku, Na?" Darah mendesir semakin membuat wajah Noa memerah, "Katakan!"

Oh.

Kini Arsitea tahu benang merahnya.

"Jadi kau menyuruh anakmu sendiri menjadi penyusup?" Tawa mengejek Sir Arsitea membuat dingin semakin terasa nyata. Bulu kuduk merinding tak tahu sembunyi di balik apa.

"Apa yang Leeo inginkan?!!" 

Umpan dimakan. Jadi, Sir Arsitea yang menang?

"Ini bukan keinginan Na's Leeo, tapi demi Na's Island..." kalimat Sir Arsitea ini disambar oleh putra Luke dan Sesilia.

"Demi Na's Island?!"

"Iya!!" Sama bernada tinggi, Sir Arsitea menjawab cepat pertanyaan Noa, "bagaimana mungkin Pulau cantik Na akan dipimpin oleh orang yang tidak peduli kematian saudara kembarnya."

Sindiran keras itu menampar Noa. Dia kembali pada awal pesan Sir Arsitea.

Mulut Noa terbuka tapi tak bisa bicara. Tentang adik kembarnya, Nua. Apa yang menutupi perhatian sehingga lupa?!

Semakin diputar reka ulang, hati Noa serasa teriris, "benarkah.." benarkah Nua telah tiada? Lirih Noa tak sanggup melanjutkan ucapan.

Di sisi lain, Leea melempar pandangan kosong. Terlalu banyak yang ada di otaknya sekarang. Ini tidak seperti dirinya. Bahkan air mata tidak bisa ikut serta hadir mengucap duka cita. Putri Lucas dan Lune ini sangat mirip dengan Ibunya.

"Sebagian penduduk pulau berada di sisi Na's Leeo," kabar kedua yang tidak kalah mengundang keterkejutan diungkap Sir Arsitea, "mereka siap jika Noa menerima tuduhan membunuh Nua," ancaman tegas menuntut Noa membalas.

"Kabar riskan apa itu?! Na's Island adalah satu," bukan Noa tapi Sir Dennis yang sudah berdiri kembali unjuk debat. Keteguhannya akan keutuhan pulau setajam jarum di saku.

"Budak gila."

Semua mata Sir Dewan mengarah pada Sir Drapati yang juga bangkit berdiri masih memegang terompet keong. Suaranya datar nan dingin sedikit membuat Sir Arsitea melirik gelisah.

Sir Drapati tertua kedua setelah Sir Arsitea. Dia menjadi Sir Dewan kepercayaan Luke. Bukan membela putra tuan kepalanya, tapi Sir Drapati setuju pada Sir Dennis untuk menghindari perpecahan fana.

Lihat selengkapnya