De Na Nu La

Adiba
Chapter #9

Tagasi Minevikku (Kembali ke Masa Lalu)

Na berkuda tanpa arah.

Tolong jangan bertanya darimana Na mendapat kuda ini. Dia enggan mengingat kembali tempat kejadian belakang.

Astaga.

Na baru sadar dari lupa. Jubah dan kuku palsu merah muda masih berada di genggamannya. Mengapa ia malah membawa benda yang dibencinya?!

Na tidak habis pikir. Apakah ini ulahnya? Ayah Noa dan Ibu Leea mati karenanya? Jangan lupakan Nua yang juga telah tiada. 

Tolonglah. 

Na masih terlalu kecil untuk menerima beban ini semua.

Kemana sekarang ia harus pergi? Katakan!

Na malah ingin menyusul orang yang telah dibunuhnya. 

Hey!

Tiba-tiba kuda berhenti tak mau berjalan lagi. Apakah ia jadi takut akan terbunuh karena ada Na di dekatnya?

"Aaa!!" Tubuh Na terjungkal ke belakang. Gaun merah muda pita putih tulang kotor oleh tanah.

Hari yang senja kian gelap sama seperti perasaan Na yang ditinggal sendirian.

Ini sudah jauh dari aliran Sungai Revi. Namun, masih di wilayah barat Na's Island. Kenyataan itu semakin membuat Na geram kesal. Bisakah dia pergi dari pulau ini saja? Tidak ada yang istimewa tinggal di tempat bernama diri sama.

Sekali lagi ekor mata Na menangkap jubah dan kuku palsu merah muda. Setidaknya kunang-kunang tidak mengejeknya karena kesepian.

"Sekarang apa?" Setelah mengusap ingus di hidung, Na bertanya pada benda mati di tangan kiri.

Tahu tak mungkin mendapat jawaban, Na mencari alternatif lain dengan menyapu lingkungan sekeliling.

Tubuhnya terduduk di jalan setapak tanah cokelat. Sisi kirinya akar greya merambat. Berlanjut ke kanan tanpa menengok ke belakang. Na menghindari berurusan dengan masa lalu apalagi kelam.

Sudut berpelurus dengan akar greya, sekilas membuka luka lama. 

Disana ana tembok batu. Menjulang tinggi puncak datar. Namun, serasa menusuk hati kecil Na dihantui bayangan. 

Batu indah. Alangkah baik sekali pembuatnya memilih berwarna-warni. Na tersenyum tipis duka meratapi.

DUAR

Bunyi mengagetkan memaksa Na menoleh ke belakang. Sumber suara itu angkat tangan melihat Na menyesal. 

Tidak ada yang namanya kebetulan. Semua terjadi karena suatu alasan.

Gunung api di pegunungan timur pun ikut teriak meminta agar mentari tetap terbit esok hari. Agungnya puncak tertinggi juga takut pulau cantik ini akan fana tenggelam.

Mungkin lebih baik berulah. Jika si api lava muntah, lempeng bantuan juga goyah. Wilayah ini dekat lautan. Sudah pasti air lalu surut dan tsunami datang.

Tamat sudah. Perintah Leea terlaksana untuk terakhir kalinya. Na pergilah.

"Baiklah," lamunan dihentikan. Na bangkit berdiri masih memegang jubah dan kuku palsu merah muda.

"Jika aku terlahir kembali..." Na melangkah pelan mendekati bangunan tatanan batu warna-warni.

Jubah gelap dibentangkan. Kemudian dipakai dengan tekad mantap. Bukan karena menutupi udara dingin atau tudung sebagai penghalang mata sembab, Na hanya ingin.

"Semua sia-sia begini..." gumamnya menghafal tulisan di halaman terakhir buku tua tebal yang diperolehnya dari kamar tersembunyi Ariane.

Kuku palsu merah muda kini diambil. Lalu dipasangkan pada jari manis tangan kiri Na. Bintang berbentuk bulan purnama.

"Qoca dan Mga Aqsa akan marah," selepas mengucap kalimat Na's Yraid itu, mata Na tertutup sempurna.

Sudahkah?

Mata ingin melihat bolehkah?

Perlahan Na membuka pandangannya. Di depannya masih tembok tinggi batu-batu.

"Gagal..." lirih Na menyesal.

Kepalanya menunduk terdiam. Tubuhnya berbalik setengah putaran.

Tunggu.

Bukan tanah jalan setapak yang dipijak. Na tidak mengacaukan, dia sampai tujuan.

Di angkat kembali wajah Na. Kini yang berada di depannya berbeda. 

Sebuah rumah pondok kayu tua bambu. Sederhana hanya punya pohon bunga terompet jingga terukir bilah perak.

Mata Na terus meneliti menyeluruh. Berusaha menemukan siapa penghuni tempat ini.

Ketemu.

Setidaknya batu tak bicara itu terukir nama seseorang. Ya, seseorang. Seseorang yang sangat Na kenal.

"Yugos..." mulut Na bergerak membaca nama di batu paling kanan.

Nama yang selalu ada di buku perpustakaan. Yang juga merupakan kakek buyut Na, Sevaqi otoman.

Mata Na beralih ke batu selanjutnya.

"Luke..." tangis Na kembali datang. Nama itu sama dengan lukisan di aula utama. Na ingat karena sangat mirip dengan Ayah Noa.

Kaki Na melemah. Bergeser sedikit hingga berada di batu tengah.

"Lucas..." jika benar dugaan, Na sungguh minta maaf menyesal. Apakah dulu, Ayah Paman Leeo ini juga buaya darat seperti anaknya?

Jubah gelap kebesaran menjadi objek menghapus air mata Na.

"Sesilia..." nama yang cantik, seperti anaknya, Nua. Jika yang dipikiran Na kini bukan sekedar khayalan.

Terakhir. Di hadapan batu terakhir, Na lemah berlutut. Tanginya semakin menjadi. 

"Lu...Na...?"

Tunggu.

Mengapa seperti ada yang berbeda?

Yang menjadi pendamping kakek Lucas, bukahkah bernama Lune? Seseorang yang sangat mirip dengan Na.

Tapi disini, mengapa Luna?

KREK

Suara pintu tua yang terbuka membuat Na menoleh. Rumah pondok itu ada manusia. 

Na menapak kaki berdiri. Langkah mendekati sumber bunyi. Matanya belum menemukan siapa di balik pintu tua yang baru saja terbuka.

Setidaknya ini sebagai pengalihan. Dari semua pertanyaan yang memberatkan pundak kecil Na.

Tentang identitas batu itu apakah sebagai nisan kematian, hingga mengapa nenek buyut Lune berubah panggilan.

"Siapa kau?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Na. Berganti pada keterkejutan sampai-sampai membuat mulut menganga.

Na telah sampai tepat di hadapan pintu rumah pondok dengan pagar keliling batu berwarna tinggi menjulang. Dan matanya juga sudah menemukan siapa yang tadi membuka pintu tua itu.

Seorang kakek tua tidak terlalu pendek. Tubuhnya terlampau kurus hingga tulang pipinya terlihat hampir membuatnya mirip tengkorak. Pakaiannya semacam pengelana yang juga merangkap sebagai pemburu di hutan. 

Sorot mata itu sangat gelap. Menyeramkan jika ditatap lama-lama. Na jadi teringat ketika Ayah Noa memarahinya setelah ketahuan kabur dari titik jarum Sir Dennis.

Hentikan!

Jangan membahas masa kelam.

Ketika manik mata Na beralih sekedar membuang jengah, yang ditemukannya malah semakin meringis sakit.

Lihat selengkapnya