DE'POTTER

Arif Budiman
Chapter #9

TEMBANG DI KELAS BUDAYA

Ini adalah tarian pohon-pohon pinus yang daunnya hijau yang membawa kesejukan. Bagiku pinus dengan kesejukan ini adalah adalah lagu cinta yang mengiring perjalanan kita. Perjalanan indah yang sering kita tempuhi saat menuju sekolah kita. Aku ingin selalu membersamainya. Demikian halnya dia yang akan selalu ada untukku.

Jika bulan yang bertengger di atas bukit Sempor itu bisa kupinjam, Jika bintang yang menghias pepohonan pinus itu bisa kupetik, maka aku pastikan itu bhawa adanya akan kuberikan padanya. Sebagai tanda perayaan dari perkenalan kita, tanda bahwa aku sangat bahagia bisa satu kelas dengannya. Aku sangat bahagia bisa mengenalnya.

Bahagia sebab aku akan sering bertemu dengannya dan belajar bersama. Disini di kelas 1.2 yang kami cintai. Disini, di kelas yang Indah ini, aku berkesempatan satu kelas dengannya. Aku kira ini isyarat Tuhan agar aku bisa dekat dengannya. Aku sering duduk di sampingnya. Kalau tidak disamping kiri, kanan ataupun belakangnya. Kupastikan aku selalu dekat dengannya. Gerak geriknya sungguh membuatku gelisah. Memang biasa aku duduk di deretan bangku kedua atau ketiga. Tepatnya sih sering datang kesiangan. Hahaha. Dan yang tersisa hanya bangku depan atau deretan depan.

Itu tempat dudukku saat SMA. Paling senang jika ada di belakangnya sebab aku bebas melihatinya. Ohhh Nadya, Aku bisa menikmati indah rambutnya yang terburai. Atau terkadang ia menoleh ke belakang, seperti pura-pura mencontek catatanku, maksudnya sedang mencatat pembahasan pelajaran Kimia, namun sudah terhapus atau tertinggal maka ia akan melihat catatanku, “Lihat Dong Rio! Aku ketinggalan nyatetnya! Aduh senangnya kalau sudah dipinjami buku. Sama Dia. Ini ambil. Pinjam sebentar ya. Hahahaha.” 

“Aduh senang sekali jika apa yang ada berarti buat dia. Senang sekali!” 

Disini aku juga satu kelas dengan Devia, awal masuk aku tak tahu kalau ia juga masih Trah Raja-Raja Jawa. Saat ini ia ada di Yogyakarta, bekerja di salah satu hotel terkenal di Yogyakarta dan sekaligus, mengabdi di Kraton.

Bersyukurlah, Aku tak sendiri di sekolah ini. Aku ditemani Devia. Karena sering berhubungan dengan hal supranatural, kami harus terima kenyataan mendapat sebutan sebagai anak Indigo. Meski kak Devia, tak terlalu memperlihatkan itu, ia orang jawa yang sudah hilang jawanya. Biyung yang kasih tahu. Mereka, orang tua kami berdua ketemu saat pengambilan raport. Mereka maksudnya, Biyungku dan Mama Devia ketemu saat pembagian raport. Neneknya Devia dari Bapaknya, masih satu keturunan dengan Nenekku. Nanti kita bahas detailnya di belakang.

Kebersamaan kami belum lama. Tapi kami seperti sudah menjadi satu Jiwa. Kami seperti satu adanya.Meskipun kami belum saling berbicara secara terbuka, tapi aku seperti sudah sangat mengenalnya. Aku belum pernah mengajaknya bicara. Kami hanya saling pandang Mata.

Tapi ia sudah seperti sangat mengenaliku. Tahu akan kelebihan dan kekuranganku.

Mengapa kami seperti satu Jiwa. Aku banyak melihat hal-hal yang sama di dirinya. Aku bahkan benar merasa seperti dirinya. Ia seperti diriku. Itulah yang terlihat dalam Pembacaan Drama Puisi di Kelas itu. Aku berusaha baik dengan proses belajar di SMA De’Potter. Ikut arus saja dengan tujuan pembelajaran temen-temen yang lain.

Kulihat Hendrayani El Fatah, masih mendominasi di kelas SatuDua (1.2). 

Yang lain juga saling berkejaran untuk mendapat nilai terbaik. Aku nggak mau ketinggalan dengan mereka tapi aku termasuk nilai biasa aku termasuk 10 besar dan nilai tertinggi di Sastra dan Budaya, karenanya aku masuk IPS.

Aku sangat kuat dalam mata pelajaran yang banyak menuntut ingatan.

Hal kecil di masa lalu sangat kuingat dengan baik. Demikian halnya dalam kajian sejarah, aku selalu mendapat nilai terbaik daripada yang lain. Ya hanya materi ini yang kusuka. Meskipun demikian aku tetap berusaha menguasai semua mata pelajaran yang dipersyaratkan.

Sahabat, aku sebenarnya suka Kimia, terlebih saat bicara unsur dinamika, itu aku suka banget, aku sangat menyukainya.

Bila ulangan, Nilai kamiada di kisaran Delapan dan Sembilan keatas. Wajar jika sekolah ini jadi sekolah Favorit. Semua kawan-kawanku sangat konsentrasi dalam belajar. Kecuali aku yang tak focus. Pikiranku masih mengawang pada mencari Mantra Pengasih dan Perasuk Sukma. Dan di sekolah ini, Pak Charly adalah orang yang bisa membantu menemukannya. Tepatnya ada di gedung Tua atau Gedung Timur SMAN De’Potter.

Aku biarkan diriku tak fokus dengan pelajaran. Tapi aku sangat fokus dengan materi Sastra dan Budaya. Aku nyaman sekali ketika mendapati materi belajar sastra dan Antropologi Budaya. Mungkin karena tema ini berkaitan langsung dengan apa yang terjadi padaku dan keluargaku

Baik Anak-Anak Sekalian, Hari ini Bapak Ingin mengangkat Tema Puisi yang jarang dibacakan, Puisi Yang Tak Dipentaskan?

“Apa Itu Pak? kataku

“Nanti Bapak Jelaskan!”

“Sekarang Bapak Minta dua orang untuk membacakan Puisi Pendek, berikut ini

“Ehhhmmm. Siapa ya?

Sambil matanya menyisir sudut-sudut ruang kelas, memilih dan memilah satu persatu wajah anak-anak yang ada dalam kelas. Kira-kira siapa yang akan diminta Beliau membacakan Tembang Pendek itu. Syair Tembang Pendek yang sangat menyentuh. Dan akhirnya beliau menentukan siapa satu dari kami yang dimintanya.

“Haryo Hidayat, Kemarilah!” pintanya padaku. Aku merasa terhormat dipanggilnya. Aku sangat membanggai beliau. Sesungguhnya, Pak Sumedi, saya rasai seperti Bapak atau abang saya sendiri. Aku sendiri juga banyak mendapatkan ilmu Agama Islam dari dari pesantren yang identic dengan NU, walau sebenarnya Ngga ada yang namanya Pesantren NU ataupun Pesantren Muhammadiyah.

Kalau Bapak penganut Muhammadiyah yang taat. Beliau lulusan Muhammadiyah Gombong. Doktrin Muhammadiyahnya sangat kuat. Tapi Idiologi Jawa dari Biyung Lebih Kuat.

Belajar bersama Pak Sumedi ini, serasa sedang ngaji atau Kongkow bareng pak Kyai di Serambi ilmu. .

Kumis tebalnya sangat khas, dan rambutnya yang tebal tertiup angin yang tiba tiba berhembus dari Pintu masuk yang terbuka. Beliau panggil satu murid Wanita. Ia tentukan anaknya.

“Dan Satu lagi untuk Sindennya,! sembari tatapmatanya menyusuri ruang. “Saya Minta! Ehmmmmm? Kembali menyusuri ruang,smbil meng ”atuk-atuk”an pulpen di dagunya yang berjumbai jenggot panjang. Belum ia menentukan pilihannya, satu suara angkat bicara dan menawarkan diri. Dan penunjukannya bersamaan dengan Suara yang mengajukan diri dengan Percaya Diri.

“Nadya!” (Saya Pak!) Dua suara berbarengan dengan Suara Irma. 

“Saya aja Pak! Seorang murid menunjuk tangan dan ingin tampil membawakan lagu Jawa ini. Ia Irma, posisi duduknya dua baris dibelakang Nadya. Tembang ini akan membawakan Tembang Kinanti, dimana beberapa baitnya merupakan syair yang tercantum dalam Serat Asmara.

Karena sudah terlanjur memanggil nadya, Irma pun tak jadi. Yachh! Desah Irma yang Kecewa. Sobat, Ia punya perasaan padaku. Aku sering mendapati dirinya sedang menatap ke arahku. Entah apa yang membuatnya tertarik padaku. Apa juga sih hebatnya aku. Aku anak dengan banyak masalah, Tapi kenapa ia selalu dan sering kulihat ingin diperhatikan.

“Haryo dan Nadya, Kemarilah! Pinta Pak Mahdi tertuju pada Dirinya yang selalu Indah di hadapanku.

“Sontak suara sorai dalam kelas membahana, meneriaki kami berdua. Seperti di Teater Sastra saja.

“Circuit. Circuit! Jujur aku merasa tak pede untuk membacakan bait Pupuh Sinom ini. Terlebih harus berpasangan dengan Nadya. Aku tak percaya diri jika harus tampil di depan orang banyak seperti ini.”

Aku malu. Aku sangat pemalu. Tapi akhirnya harus ku beranikan diri untuk membacanya. Kami maju ke depan Kelas 1.2. Di luar tanpak masih lengang. Maklum suasana lengang pagi Jam pertama. Angin tipis lembah Waduk Sempor mulai mengalir pelan. Udara terasa sangat Sejuk.

Kulihat Burung Kecil bertengger di dedaunan. Sesekali melesat jauh keluar. Aku sudah mulai curiga bahwa saat itu, aku memang sedang diawas-awasi oleh seseorang.

Pak Sumedi memintaku (kami) membacakan sebuah Tembang Jawa yang tak pernah dipentaskan.  Temabang  itu sesungguhnya adalah puisi yang selalu disembunyikan

“Bukunya dibawa!” suruh Pak Sumedi.

Aku mengambil Buku Krida bahasa paket, untuk memenuhi Jam Kesenian dan Budaya. Kami adalah angkatan pertama Perubahan Kurikulum 1994. Buka Wajib yang disediakan Negara alias gratis.

Buka Halaman 99. Nadya juga Sama. Hal yang sama aku dan Nadya lakukan adalah mencari halaman 99 yg dimaksud Pak Madi.“Sudah Pak! “Oke!” Oke disitu sudah ada syairnya, silahkan dimulai.

Sekarang mulai kalian untuk menyanyikan Syair-Syair yang tertulis disana.

“Iya Pak. Kataku padanya” Bait yang Mana Pak, ada banyak soalnya. Kebanyakan Pak, yowis kamu pilih saja.

“Bait 31 Aja ya Pak!” Bait ini sering dinyanyikan Biyung saat di rumah atau saat ia sedang memasak di dapur.

“Ayo Nadya!” Pinta Pak Madi dalam Sesi kuliah itu. Nadya telah.


*****************************************

Karya KGPAA Sri Mangkunegara IV (bait 31) :

 

TEMBANG SINOM

Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV

Lihat selengkapnya