Bertepatan dengan pertemuan Alumni DePotter angkatan 97 ini, Pertemuan supranatural pun terselenggara. Pertemuan supranatural ini dihadiri oleh para Satria Trah "Kuasa Tanah Jawa" di wilayah "Kuasa Tanah Jawa" bagian Barat (baca: Kebumen), di Panjer. Dalem para leluhur dulu pertama kali bertempat tinggal. Di sela pertemuan itu terjadi juga pertemuan khusus antara aku dan Nadya. Situasi sudah pada masa puncak-puncaknya perseteruan. Pertempuran dengan Utara di wilayah bukit Karang Sambung, tak terelakkan. Meski pun sudah diingatkan, bahwa janji itu akan menjadi nyata dan kemenangan hampir bisa dipastikan berpihak pada Trah Raja dari "Kuasa Tanah Jawa", tetap saja, mereka memaksa dan yakin akan dapat membalikkan keadaan. Mereka Jumawa akan menjadi kembali jadi Kuasa Jawa. Padahal waktunya telah habis.
Bagi saya ini bukan soal membalikkan keadaan, satu satunya prinsip bagi sebuah Janji yang terucap adalah menepati janji itu atau mengingkarinya. Siapa yang ingkar janji maka alam akan menghukumnya. Itu Prinsip dasar. Dampaknya jelas dan nyata. Sehebat dan sekuat apapun usaha kita ingkar dari janji, hukum menagih lah yang akan terjadi. Gunung yang meletus, banjir yang menerjang dan atau aneka bencana adalah konsekuensinya.
Sekali lagi, hukum bagi janji hanya ada dua, menepati atau mengingkari.
Aku sempat katakan pada Nadya soal ini. Aku berusaha meyakinkan dan sebenarnya ia juga sudah paham. Ini prinsip dasar dalam kosmologi kehidupan. Ini juga bermakna hukum Tuha, sang pencipta Jagad Raya yang luas ini. Sangat mungkin Tuhan eksekutornya.
Sahabatku, Insya Allah aku akan bertemu dengannya dalam waktu dekat ini. Nadya yang cantik, itu yang bersemayam di otakku sekarang. Pertemuanku dengan Nadya ini bisa dikatakan merupakan sebuah kompromi, deal atau kesepakatan antara aku dan keluarganya, juga menggambarkan kompromi dengan Kuasa Utara, yaitu para Satria Trah Utara. Kompromi sebab selama ini, kami tak pernah bersepakat dengan konflik lama. Kami selalu berkonflik, selalu berseteru. Alam kebersamaan kami selalu diliputi perseteruan. Nyaris tak ada ruang kosong bernama kedamaian. Waduk Sempor menjadi bukti bahwa perseteruan ini benar-benar terjadi.
Adapun pertemuan yang kami rencanakan, antara aku dan Nadya ini merupakan sebuah permohonan dari utara. Aku tahu itu permohonan Nadya sendiri. Orang Utara jelas tak mau atau malu memohon. Makanya Nadya yang datang. Aku mengiyakan yang artinya menyanggupi pertemuan yang akan berjalan sangat kompromistis. Nadya, tahu bahwa aku panglima Kuas Tanah Jawa wilayah barat.
Aku katakan bahwa aku setuju dengan pertemuan itu. Apapun hasilnya. Bagiku yang penting aku bertemu dengannya. Posisi mereka sedang sangat lemah. Aku dan para Satria Timur juga tidak akan menggempur Trah Utara, begitu saja. Apalagi menyatakan kalah atau menyerah. Nadya menemuiku untuk membuat kompromi dengan Para Satria Jawa.
Semua mafhum bahwa Utara tinggal menunggu masa kehancurannya. Gunung meletus juga banjir serta aneka bencana lainnya membuktikan bahwa Senjata Utara, Rajah Kalacakra telah memudar. Rajah perasuk Sukma yang di pasang di Gunung-gunung tanah Jawa ini telah kehilangan tuahnya. Jimat-jimat Kalacakra yang menancap di gunung di Wilayah Jawa telah kehilangan kekuatannya. Tuahnya telah tercerabut. Baik Gunung Utara (Slamet) maupun Gunung-Gunung menjulang lainnya di sepanjang Tanah Jawa terutama di wilayah dekat Kebumen yaitu di Wonosobo (Sindoro Sumbing). Kekuatan Utara kini, tak lagi bertuah. Saya justru sedang meyakini, utara tanpa diserbu dengan penyerangan pun akan tumbang dengan sendirinya. Itu sudah tercatat dalam nubuat yaitu catatan kisah dalam Serat Asmara.
“Iki Wis Wayahe!” artinya “Ini Sudah Saatnya!” Banyak para penasehat dan peramal yang menyebutkan kata-kata ini. Kitab-kitab kuno telah memberitahukan. Pernyataan ini seolah menguatkan bahwa tahun-tahun ini adalah waktu bagi datangnya janji leluhur yang akan datang, yaitu waktu kembalinya ajaran mulai leluhur untuk ditegakkan kembali di Tanah Jawa, setelah lama menunggu selama 500 tahun. Inilah masa nya bagi Trah “Kuasa Tanah Jawa” kembali menguasai tanah kesejatiannya. Bukan tanah yang dikuasai mahluk-mahluk Asing yang semena-mena.
Sungai Serayu beberapa kali menggelegak oleh aliran airnya yang besar. Deras arusnya terlihat dari permukaan air yang begitu kuat. Ia seperti tak sabar ingin menenggelamkan apa saja yang ada di sekitarnya. Lihat saja alirannya saat banjir bandang datang, airnya melimpah-ruah tapi menyeramkan, sungguh pemandangan yang sangat menyeramkan ketika ia sedang meluluh lantakkan dan menerjang rumah-rumah dan lahan pertanian. Sesungguhnya, Kekuatan Utara saat ini sangat lemah. Mereka telah pasrah pada garis nasibnya. Utara tak lagi segarang dulu. Sebagaimana garangnya orang Utara yang ada di Jakarta. Meski lemah, mereka tak mau menyerah. Mereka belum akan menyerah. Semangatnya dan menculik para pendaki dan ritual anehnya yang dibanggakannya, kini mulai ditinggalkan. Semisal membuat celaka pengendara. Mobil turun jurang dan sebagainya.
Bagiku, mereka saat ini, benar-benar tak berdaya.
Saat ini, setelah hampir 20 tahun aku pergi ke Jakarta, sebagian pengikut Utara telah menyerah dan tak bisa menunjukkan taring atau kekuatannya, gunung-gunung di Jawa telah banyak yang ditundukan dan dikuasai Trah “Kuasa Tanah Jawa”. Mereka telah tunduk pada leluhur Tanah Jawa. Kebenaran dalam Perjanjian Gunung Tidar sedang menunjukkan kebenarannya. Bahkan tanpa kerja pun, kemenangan itu akan terjadi dengan sendirinya sebab kekuatan Gusti yang bekerja, itulah yang sesungguhnya.
Termasuk Nadya, ia mengajak berdialog tentang perlunya perdamaian. Sebenarnya Nadya sendiri telah menyadari akan hal itu. Ia paham dengan nasib peradaban ini. Ia telah membaca serat Asmara. karenanya Ia takut perang besar itu akan benar-benar terjadi. Nadya takut Trah Raja Jawa akan membumi hanguskan para pengikut Utara Loyalis yang tak pernah mau diajak damai.
Para Satria dan Trah Jawa sesuai janji yang terucap dan tertulis dalam Serat Asmara akan dating di masa dan waktu yang dekat ini.
“Wis Wayahe!” Maka muncul istilah ini. Istilah ini juga muncul dalam dunia politik. “Wis Wayahe? WIs Wayahe!” Hahaha. Cek saja fakta paslon Pemilu kita, ada paslon yang menggunakan jargon ini. Tentu yang dimaksud adalah Sudah saatnya jagoannya yang menang dan seterusnya.
Yaitu suatu masa dimana Serat Asmara, akan dibacakan, dinyanyikan atau digaungkan. Lantunan tembangnya akan mengalun di seantero wilayah negeri dan khususnya Tanah Jawa ini. Tembang Jawa akan dinyanyikan di seluruh Nusantara. Tentang hal ini sudah terbukti. Tembang Didi Kempot melanglang buana. Cak Nan penyanyi pendatang baru melanjutkannya. Ia adalah asli kebudayaan kita Inilah masa kembalinya kejayaan para leluhur “Kuasa Tanah Jawa”. Kembali dan mengambil alih. Kerusakan yang melanda akan beralih menjadi kebaikan.
Mereka, para leluhur akan datang menagih Janji. Kapan tanda kedatangannya? yaitu ketika gunung-gunung besar di tanah Jawa memuntahkan isinya. Itu salah satu pertanda bahwa Sementara Akuwu dan bala tentara Utara telah siap menghadapi perang habis-habisan. Laskarnya telah berbaris dan berjaga di sepanjang perbatasan (yaitu bukit-bukit berbaris mulai dari Sempor hingga bukit-bukit Karst di Bukit Karang Sambung. Leluhur mereka adalah Satria utara yang kesehariannya merambahi gunung, menguasai Gunung Dekat Candi Borobudur dan Gunung Besar lainnya di sepanjang pulau di Tanah Jawa.
Sahabat, hiraukan cerita fiktif ini jika ini tak berarti bagimu. Tinggalkan catatan ini, jika tak ada makna mendalam disana. Hanya orang yang mendalam, yang bisa memahami apa arti tulisan dalam novel ini.
Mungkin sekali kalian tak ingat denganku. Sebagian dari kalian, tentu tak mengenalku. Aku bukan siswa terkenal sebagaimana mereka anak pintar di sekolah kita seperti Hajar Sugiarto, Hendrayani Kusuma, Supriyatin, Abdullah Siddiq, atau mereka-mereka yang berprestasi atau mereka yang terkenal karena berbakat dalam dunia ekskul semisal Mas Yudhi yang jago Basket. Aku hanya siswa biasa, meskipun begitu di Kelas XII IPS pernah dapat rangking 3.
Atau mungkin sebagian dari teman-teman hanya kenal wajah! Ini pula yang pernah disampaikan, Mas?! Siapa saya, dia juga lupa. Karena saya juga hanya kenal wajahnya. Tapi tak kenal dekat. Dia pun sama seperti ini. Sejauh itu, kita masih berucap alhamdulillah. Baiklah, Kenalkan namaku Haryo, Haryo Hidayat. Orang-orang biasa memanggilku Rio. Aku dikenal sebagai anak Indigo. Haha! Tentang istilah Indigo ini, aku nggak terlalu paham apa itu Indigo. Katanya anak indigo adalah anak yang bisa melihat dunia supranatural atau alam gaib. Komentaru, bisa jadi, sebab aku merasakannya sebagai hal yang biasa. Bukan luar biasa sebab sebetulnya itu telah menjadi kebiasaanku. Sejak kecil aku sudah mulai melihat dunia ini. Dunia imaji-supranatural yang membuatku mampu membaca hal hal yang tak mungkin, sesungguhnya adalah sangat nyata dan mungkin.
Aku masih berdarah Raja-raja Jawa. Aku punya nama ningrat, nama itu cukup panjang, aku jarang menggunakan nama itu. Aku sendiri tak pernah tahu dari manakah asal usulku. Tapi meski nama ningratku sangat panjang, di Ijazah atau surat-surat resmi itu, nama hanya tertera Haryo Hidayat. Adapun nama lengkapku bisa dilihat silsilah keluarga, disana tertera Raden Haryo Pinasti Hidayat Koentjoroningrat.
Yang kutahu aku anak seorang Muhammadiyah, yaitu satu organisasi keagamaan di negeri ini yang sangat menentang Tahayul (klenik). Organisasi ini sering dibenturkan dengan NU. Aku adalah anak seorang Ibu (Biyung) yang masih keturunan Trah Raja Jawa, meski ia tak pernah terbuka. Beliau sangat kental dengan Budaya yang disebut sebagai takhayul itu. Anehnya keduanya bisa bersatu. Haha sebetulnya tidak aneh, Ngarso Dalem Sri Sulthan Hamengkubuwono X saja, pernah menyebut bahwa dirinya seorang Muhammadiyah. Artinya ini pertanda bahwa hubungan diantara keduanya sangat cair dan terjalin perpaduan yang harmonis.
Sebenarnya kehidupan keluarga kami berjalan normal, hanya riak-riak kecil yang sering muncul sebagai pemicu keributan. Akhir-akhir ini kulihat mereka sedang tidak akur. Romo sering uring-uringan karena merasa tak lagi diperhatikan Biyung. Bahkan tak jarang Romo mengatakan Biyung tak cinta lagi padanya. Padahal Biyung tidak seperti itu. Aku tahu usia tua mempengaruhi mereka. Terutama Romo yang mengalami Post Power Syndrome. Setelah tak lagi aktif di Pemda Kebumen, beliau tampak sebagai orang tua yang merasa tak berguna dan sering marah-marah. Terlebih penyakit paru-paru yang dialaminya, membuatnya makin lemah.
Ini adalah kali kedua, mendapati mereka tidak akur dan saling diam yang lama. Dulu mereka pernah tidak akur yaitu saat kami masih kecil. Masa aku kecil, kehidupan keluarga kami diwarnai perseteruan antara Romo dan Biyung. Biyung pernah pergi meninggalkan kami. Aku pernah sedihkan keadaan itu.
Aku termasuk anak dengan perjalanan kehidupan keluarga yang tak bisa disebut manis. Aku ingin menyebutnya keluarga dinamis, ini lebih mengena. Kisah keluargaku banyak diwarnai hal-hal pahit. Romo Biyung sering debat soal masa depanku. Mereka sering tak akur yaitu beda paham soal idiologi apa yang akan ditanamkan padaku antara modernis dan konservatif. Bapak ingin aku menjadi seorang modernis intelektual, Sementara Biyung ingin agar aku menjadi Kejawen Tulen. Meski demikian, aku tetap mencintai kalian berdua. Dan aku akan tetap menjadi diriku sendiri yaitu ingin tetap menjadi intelektual yang menghargai tradisi atau asal usulku sendiri. Walau faktanya aku juga ketat dengan Tradisi Raja-Raja Jawa. Sobat, Itulah yang jadi alasan mengapa aku sering terlihat sebagai murid ber-masalah. Pertama kondisi ortuku yang tak pernah akur itu. Kedua, adalah Fakta supranatural yang menimpaku.