DE'POTTER

Arif Budiman
Chapter #10

Puisi Terlarang #

“Tapi Mengapa Puisi ini Jarang dibacakan di dalam ruang pembelajaran atau sekolah kita. Bahkan Tak diajarkan dalam Buku pelajaran kami? Bukan Jarang, menghadirkan sastra seperti ini justru nyaris tak pernah ada dalam pembelajaran kita. Tidak Semua, Karya Sastra akan dipentaskan. Tidak semua tulisan yang tercatat dalam kitab-kita Kuno akan di ajarkan sebab, ada dasar Ideologis yang menyebabkannya tak ditampilkan. Sastra kuno ini hanya mungkin dibahas di ruang-ruang diskusi yang terbatas. Atau disimpan dalam diskusi terbatas. disimpan di satu lembaga Balai Arkeologi atau hanya sekedar menjadi Kajian Naskah Kuno.” narasinya di sesi siang yang angin di pinggir sawah bertiup segar.

“Saya tidak akan menjelaskan makna terdalam isi naskah ini di Forum kelas seperti ini. Jenis Sastra ini hanya bisa dipahami dalam komunitas Sastra dan Penggiat Kebudayaan Jawa.” narasinya kembali mengalir dan merasuk ke pikiran kami, barusan seperti ingin menutup sesi kebudayaan di siang itu.

Mendengar penjelasan Beliau, Aku paham maksud Pak Sumedi. Belia sama pemikirannya dengan Pak Charly. Yang paham dengan Isi Serat itu karena mengandung Isi yang sangat sensitif dalam masyarakat kita. Dan karena hal inilah maka Serat ini Tak diajarkan. Tema ini sangat terlarang.

Dan “beruntung” kontroversi Serat ini cenderung aman. Sebab kebetulan tingkat literasi masyarakat masih rendah, sehingga cenderung mengabaikan sastra (serat) padahal banyak karya-karya besar para pendahulu yang sangat kaya dengan nilai dan makna. 

Masyarakat kita bukan masyarakat sastra, masyarakat kita adalah masyarakat hedonis, dimana ukuran kebahagiaan hanya diukur berdasarkan kekayaan fisik.

Hingga Budaya Sendiri yang Kaya dan Bernilai Tinggi tak dipahaminya.

Hanya itu yang ada di masyarakat kita dan mendominasi alam pemikiran kita selama ini. Mereka lupa kebudayaan adi luhung bahwa ia punya khasanah leluhur yang kaya dan mengajarkan laku hidup sempurna yang itulah sebenarnya dari semestinya laku yang dilakukan manusia.

Puisi Kita selama ini lebih banyak dibacakan dalam kerangka bahasa (artinya dalam kerangka teknis), bukan dalam kerangka makna (sastra). Puisi kita selama ini hanya hidup pada ranah aturan bahasa seperti perlunya Ejaan yang Benar. Bukan bermain pada ranah gerak Jiwa. Dan laku perjalanan jiwa yang dilukiskan sebagaimana sastra Jawa yang terabadikan dalam bait-bait tembang atau lagu jawa yang sangat kaya akan makna dan pesan-pesan moral.

Sesi kelas yang indah. Tak pernah akan terlupa. Terima Kasih Pak Sumedi atas kucuran Ilmumu yang akan terus mengalir manfaatnya padaku selamanya. Bahkan hingga saat ini. Guru adalah pelita bagi perjalanan panjang, meski perjalanan kita tak mulus. Untaian nada kesyukuran atas nikmat satu kelas bersamanya. Terasa begitu dalam merasuk dalam jiwa. Tak pernah tahu Jika darah kami berbeda.

Tak pernah mengira Jika orang Tuanya, berdarah Utara dan itu sangat bertentangan dengan Selatan. Dan Bapaknya sudah curiga akan hal itu. Karenanya Ia kirimkan sepasukan Burung Besar yang dalam dunia Nyata menjadi burung kecil, seukuran Burung Gereja yang mengendap di dedaunan atau bunga-bunga yang mekar di Taman Depan Kelas kita. Burung itu melesat dari arah utara, dari arah Gunung Slamet,, awalnya adalah Burung besar di dunia Khayali, lalu mengecil dalam dunia nyata. Di duniaku Ia adalah wujud besar mengerikan. Di dunia fisik yang lazim (mansia awam), burung ini akan terlihat sebagai burung yang sering kita temui di ranting-ranting pohon depan kelas kita. Yang hinggap di dahan-dahan dan dedaunan bunga-bunga di Taman SMA kita. Menyusut jadi burung kecil dan hinggaplah di dedaunan bunga-bunga SMA kita.

Tak akan kulewatkan kelas Sastra ini sebab aku sangat suka dengan kajian tentang puisi ini. Meski aku juga sangat menyukai kelas Sains yang tampak lebih diagungkan. Namun bagiku sastra ini punya lebih banyak memberi kesempatan padaku untuk menyapa pembelajaran pada sisi kedirian dan “keakuan” kita. Lebih bisa untuk banyak Menyapa pohon padi di dekat sekolah kita, Juga menyapa embun yang masih menempel dedaunannya. Serta menyapa burung yang bertengger di atas dedaunan hijau di sepanjang jalan.

Sastra Yang Tersembunyikan, sastra yang sengaja tidak diumbar, Sastra yang tak pernah dibacakan, Sastra yang tak pernah dipublikasikan. Sastra yang hanya dibaca bagi mereka para penganut jalan kebatinan dan spiritualitas. Itulah materi sangat baru yang disampaikannya di kelas ini. Sastra yang tidak mendapatkan tempat di Ruang-ruang kelas ini. Bukan hanya kelas tapi tempat, bahkan kertas untuk bias dituliskan atau setetes tinta untuk menuliskannya.

Itu pula yang memberiku satu bukti bahwa hari ini aku juga bisa menjadi guru Sastra sebagaimana beliau. Sebut saja namanya Pak Sumedi. Beliau Guru Sastra di SMA De Potter ini sudah lama. Saat itu beliau telah berstatus PNS. Tapi sayang di usia beliu yang mendekati umur 35 Tahun, beliau belum menikah. Masih lebih baik dibandingkan aku yang kini 39 tahun tapi belum menikah. Sungguh memprihatinkan.

Aku ingin selalu menggunakan istilah sastra sebab istilah ini lebih tepat dibandingkan Bahasa sebab bahasa hari ini hanya mengandung makna yang sangat teknikal. Guru dan pembelajaran kita hari ini terlampau dikejar materi (taktis) bukan substansi. Guru kita hari ini terlampau disibukkan dengan perangkat kurikulum baru, namun lupa menyampaikan hal yang penting dari pembelajaran itu sendiri. Ada tugas pembentukan kehalusan budi yang semestinya jadi pusat konsentrasi. Dan salah satunya adalah lewat bahasa dan Sastra. Guru kita hari ini adalah Guru Bahasa Taktis yang hanya mengajarkan aturan teknis dalam tulis menulis atau aturan persuratan. Di dalam pengajaran bahasa yang ada selama ini di dalamnya hanya diajarkan Ejaan Yang Dibenarkan (EYD), yang sepenuhnya terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan teknik persuratan yang baik.

Jarang Guru bahasa di sekolah umum yang mengajarkan Puisi Pengasih ini. Tepatnya tidak ada. Ini sastra tak biasa. Terlalu mengerikan! Atau terlalu riskan. Itulah anggapan orang tentang Puisi Pengasihan (Serat Asmara). Ini fakta Sastra yang belum pernah diajarkan. Bapak tidak sedang mengajarkan hal yang tak benar. Tapi nyatanya, tidak semua sastra dipublikasikan. Tidak semua karya dapat diterima oleh masyarakat kita. Contoh Sastra Syekh Siti Jenar tak mungkin diajarkan di kelas Ketuhanan apalagi masuk dalam doktrin keagamaan kita, sebab Siti Jenar yang menganggap dirinya Tuhan adalah pernyataan yang menentang Hukum Tauhid (Ia pernah mengatakan Annal Haq (Saya adalah Tuhan).

Dalam pengucapan kata “Itu contoh”. Kalo kata pak Suwoto, guru matematika kita di SMA DePotter, kata-kata itu berubah menjadi “Kontoh”. Koq Kontoh pak! Computer bacanya apa? Komputer pak! Nahhh itu, Pungkas Pak Suwoto menjelaskan singkat. makanya Contoh ya dibaca Kontoh! hahaha sebagian tertawa. Sebagian lagi hanya membuka senyum seadanya. Sebagian hehhh. Apaan Sih?? (Terkesan garing, tapi lucu, dan Lucu model ini menjadi ciri Khas Pak Suwoto, sang guru matematika yang unik).

***********************************

Lihat selengkapnya