"Hey, kau kenapa nampak tak bersemangat seperti itu?" mencolek daguku.
"Jangan kau berani sentuh aku!" menegaskan.
"Kau masih memikirkan si mata biru itu," membuang nafas kasar.
"Tak usah ikut campur kau, sudahlah aku mau masuk," berdiri dari kursi.
"Hey tunggulah sebentar, kau mau ku adukan ke ayahmu," menaikkan alisnya sembari tersenyum licik.
"Heh, sudahlah, sudah malam aku ingin tidur, kau pulanglah," hendak kembali melangkahkan kaki memasuki pintu rumah.
"Kau masih belum suka denganku ya?"
"Heh kau kira sepantas apa kau untuk kusukai?!" tersenyum sinis tanpa membalikkan badan menghadapnya.
"Cobalah sekali untuk menerimaku tak sesulit yang kamu pikirkan kok," menghela nafas lelah.
"Untuk apa menerimamu, bahkan ayahmu dan ayahku sudah menyetujui ini. Apa lagi yang kuharapkan toh nantinya aku akan hidup bersamamu bukan," mengangkat bahuku acuh.
"Percuma kalo gak ada cinta," menunduk.
"Pertama, aku sudah dipaksa untuk setuju dengan perjodohan ini!. Kedua, kau malah memintaku untuk mencintaimu," tersenyum sinis pada akhirnya membalikkan badan menatap pria di depanku yang sedang menatapku lurus.
"Kau pikir semudah apa ha!, kau pikir semudah membalikkan telapak tangan ha!?" membentaknya.
"Percuma kan kalo kau hidup denganku tapi tak sedikit pun mencintaiku," masih menatapku lurus.
"Lalu, kenapa tak kau tolak saja perjodohan itu, kenapa ha. Seandainya kau tolak, aku tak mungkin dipaksa harus menerima dijodohkan denganmu!" berteriak sekali lagi sebelum akhirnya berlari mamasuki rumah dengan aksen kayu itu.
Aku pergi memasuki kamar, menutup rapat pintu kamar. Aku menghela nafas lelah, aku lelah mengikuti setiap permainan mereka.
"Kau tinggalkan aku di dalam keluarga licik ini."
Aku berbaring di atas kasur, memejamkan mataku. Awalnya hanya berniat untuk tiduran biasa saja, tapi siapa yang menduga aku pun akan terlelap begitu pulas.
###
Di sekitar mata ini memandang hanya ada padang salju yang luas. Udaranya tidak terasa dingin barang sedikitpun, suhu yang dirasakan tetap normal. Tak tau dari mana datangnya seorang perempuan memakai dress coklat sebatas lutut yang mana coraknya tak dapat kutafsirkan disertai sepatu coklatnya yang hampir menutupi seluruh kakinya hingga lutut menarik tanganku. Dia menatapku dengan bola mata biru kristalnya penuh harap dan permohonan. Aku agak terhenyak ketika melihat bola matanya. Bola mata yang begitu persis dengan bola mata yang selama ini selalu kurindukan. Dia membawaku berlari, menarik tanganku dengan tangannya yang tertutupi sarung tangan coklat yang sangat unik, menginjak setiap salju yang menutupi jalan. Kemudian berhenti tepat di depan sebuah jurang yang gelap dan nampak sangat dalam.
"Kau gila ya!" ketika dia hendak menarik lenganku lebih mendekat ke jurang.
"Kumohon percayalah padaku!" menatapku lekat.
"Heh kau tau, dulu juga ada seseorang yang menatapku dengan bola mata sepeti itu, dan mengatakan hal yang sama, tapi apa. Sudahlah aku ingin pulang," melepaskan genggamannya.
"Aku mohon, kali ini saja!" memohon dengan mata berkaca kaca.
"Kau gila, ingin aku mati di dalam sana ha?!" kesal.
"Tidak kamu tidak akan mati, percayalah, di dalam sana ada sebuah kota, kumohon," menatapku lurus.
"Apa hubungannya kota itu denganku?" malas menatap matanya.
"Ko...kota itu termasuk salah satu teka teki yang ditinggalkan Rey untukmu," menunduk.
"Kau kenal Rey?" menatapnya heran.
"Kau siapa Rey, kenapa mata kau sama sepertinya?" tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku.
"Itu teka teki buatmu, cari taulah sendiri aku hanya bisa memberikan petunjuk," tersenyum.
"Kalo seperti itu apa gunanya kau di sini, mau apa bawaku kemari. Sudahlah teka teki itu tak penting, aku ingin pulang," berjalan menjauh.
Aku tak tau harus kemana, di sepanjang mata memandang hanya padang salju yang luas. Aku menaiki setiap bebukitan, berjalan terus tanpa tau arah.
"Aduh capek yah, tempat ini luas banget, gak bisa nyari jalan keluar," merebahkan badanku di salju.