De Wereld In Dromen

Zahir
Chapter #4

Ketiga

Aku membuka mata, terlihat sinar lampu yang redup tepat di atas langsung memasuki rentina mataku. Hah, di kamarku tak pernah ada lampu seperti itu. Aku menggeser tubuhku, menghadap kesamping, kulihat ada Qisya yang tengah terlelap pulas.

"Ha!!" terduduk.

"Lah lah lah, kenapa aku gak pulang!" memegang wajahku cemas.

"Apa bener aku terjebak di dunia ini?"

"Sudah kubilang kak, gak semudah itu untuk masuk dan gak semudah itu pula untuk keluar," sudah terduduk di sampingku.

"Aku terjebak?" menatapnya.

"Gakpapa kak, ayok cepet siap siap!" malah bersemangat.

"Ha kemana, ngapain?"

"ikut aja!" menarikku.

###

Aku menatap diriku di depan cermin, memutar mutar badan memandangi tubuhku yang terbalut baju kemeja coklat berlengan pendek bercorak aneh dengan rok sebatas lutut juga berwarna senada dengan kemejanya, ditambah sepatu putih sampai bawah lutut dan sarung tangan yang berwarna putih juga.

"Wah cantiknya!!" kagum Qisya.

"Eh muji orang aja bisa, gak liat apa diri sendiri juga lebih cantik," menatap Qisya dengan rambut terjalinnya.

"Kakak mau dijalin gak rambutnya?" tawarnya semangat.

"Eh gausah, gak biasa," tolakku.

"Hmmm yaudah, biarin kayak gitu aja rambutnya, goooo berangkat!!" menggandeng lenganku.

"Kita mau kemana sik, kok pake seragam kayak gini?" bingung.

"Ya mau sekolah lah," tersenyum lebar.

"Emm tapi, tapi kan tujuanku kesini cuma buat bawa Indi pulang," pasrah.

"Nenek, sarapan hari ini apa?" semangat.

"Gebakken rijst," tersenyum ramah ya pastinya hanya kearah Qisya.

"Wahhh, ayo kak, gebakken rijst buatan nenek selalu yang terbaik!" menarikku sambil berlari.

"Eh ya ngomong ngomong gebakken ri apa, apa, susah bener nyebutnya," meringis.

"Qisya sudah menceritakan tentangmu," sambil menyantap makanan.

Aku hanya diam tak menyentuh makanan, bahkan ucapan neneknya pun terlewat begitu saja di telingaku.

"Aurora, makan saja, ini bukan racun," ucap neneknya.

"Eh, iya nek," canggung.

"Hehehe, pasti kakak gak pernah denger nama makanannya ya," terkikik.

"Kalo gak salah, ini sama kayak nasi terus dicampur sama bumbu, aduh susah jelasinnya dengan nama makanan kakak," nyengir.

"Nasi..., goreng?" saat melihat nasi berwarna hijau di depanku.

"Aha iya mungkin," setelah itu kembali sibuk dengan sarapannya.

Aku dengan ragu mencicipinya, dan benar saja rasanya seperti nasi goreng dan tentunya dengan sensasi yang berbeda, sangat enak.

"Kamu bisa pulang Aurora," tiba tiba neneknya memecah keheningan.

"Bagaimana caranya?!" bersemangat.

"Tunggulah saat bulan Ram setahun lagi, saat itu kau bisa kembali. Tapi berdoalah semoga tak ada yang menggunakan tali itu, karna ia hanya bisa dipakai sekali," menghela nafas berat.

"Se...setahun?" tak percaya.

"Ya, setahun, dan bolehlah selama setahun itu kau tinggal di sini," menatap makanannya.

"Aku menyesal tak membawa gelang putih itu," menunduk.

"Eh tak apa kak, anggap aja ini keluarga kakak," menyenggol lenganku sambil tersenyum.

Aku menatapnya lekat sebelum akhirnya mengangguk sembari ikut tersenyum.

###

"Dahhh nenekkk, dahhh kakek," mencium kedua pipi nenek dan kakeknya.

"Emm pamit nek, kek," menunduk sopan sebelum akhirnya kembali ditarik Qisya keluar.

"Kakekmu tak bisa bicara?" tanyaku hati hati.

Lihat selengkapnya