"Jadi kenapa kau memanggilku ke sini?” Tanya Robert Krueger pada Annie Morgan dengan pandangan jutek. “Sadar nggak sih, sekarang sudah berapa?”
“Baru jam sebelas.” Dengan seenaknya gadis berambut pirang itu berkata seraya menyuruh Robert duduk di kursi depan meja belajarnya. Annie mengambil sebuah boneka dan memeluknya sebelum duduk di atas tempat tidurnya yang berlapis sprei berwarna violet. Kening gadis itu berkerut saat melihat tatapan Robert ke arah dirinya. “Kenapa kau melihatku seperti itu? Toh, rumahmu letaknya hanya di seberang jalan.”
“Seberang jalan itu terhitung jauh pada jam sebelas malam.” Sambil mengomel, Robert mengalihkan pandangannya ke cermin meja rias si pemilik kamar. Permukaan cermin nyaris tertutup oleh foto-foto yang ditempel dengan selotip. “Bingung aku melihatnya. Bagaimana kau bisa bercermin kalau cerminmu penuh dengan foto seperti itu?”
“Semua kamar anak perempuan gaul memang seperti itu.” Tukas Annie membela diri.
“Maaf saja aku tidak pernah ke kamar anak perempuan gaul sebelumnya.” Sindir Robert pedas.
“Apa maksudmu?” Tiba-tiba suara gadis dengan rambut potongan bob itu melembut. “Bukankah dulu kau sering main ke sini?”
“Jangan mengatakan sesuatu yang sudah lama berlalu.” Robert tersenyum sinis. "Kapan terakhir kali aku main ke sini? Lima? Empat tahun yang lalu? Entahlah. Jujur saja, aku sudah lupa!"
“Hei, aku sudah berkali-kali minta maaf." Protes sahabat masa kecil Robert itu dengan suara tercekik. "Tidakkah menurutmu itu sudah ….”
“Bagaimana mungkin kau berharap aku akan memaafkanmu semudah itu?” Robert Krueger mendecakkan lidahnya. Kesal.
“Maafkan aku." Annie mendesah. Tangannya meremas-remas boneka dalam pelukannya dengan gelisah. "Kau tidak akan mengerti. Bagi anak perempuan ….”
“Dari pada kau sibuk membela diri, lebih baik langsung saja katakan apa maumu.” Potong Robert seraya kembali duduk dan menyilangkan tangannya di punggung kursi. “Kau sampai memanggilku ke sini karena ada maunya, iyakan?”
Mendengar itu Annie tercekat.
“Haruskah kau mengatakannya dengan nada seketus itu?” Annie memejamkan mata dan berusaha menenangkan dirinya. “Aku pikir kita sahabat sejak kecil.”
“Itu dulu sebelum kau dengan sengaja menjauhiku agar bisa bergaul dengan anak populer semacam Tamara Mason atau Trent Sutton.”
Robert baru saja akan melanjutkan ucapannya saat ia melihat mata Annie basah oleh air mata. Sesaat kemudian, remaja itu sadar kalau kata-katanya itu sedikit kelewatan.
“Maafkan aku, oke.” Robert mendesah. “Entah kenapa, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.”
“Tidak apa-apa.” Si gadis menghapus air matanya. “Aku memang layak mendapatkannya."
“Jadi ada apa?” Robert kembali bertanya. Kali ini nada suaranya jauh lebih lembut.
Annie Morgan menatap wajah Robert selama beberapa saat. Pada akhirnya, gadis itu membuka laci dan mengambil sebuah buku tebal bersampul kulit buatan berwarna cokelat. Dari warnanya yang sudah pudar dan kotor jelas sekali kalau buku itu cukup tua dan tidak dirawat.
“Hal ini bermula ketika aku menaruh beberapa kardus berisi barang yang sudah tidak terpakai ke loteng.” Sambil memainkan buku itu ditangannya, gadis itu mulai bercerita. “Secara tidak sengaja aku menyenggol sebuah kotak kayu dan isinya pun tumpah ke lantai. Saat aku berusaha mengembalikan isinya kembali ke dalam kotak, entah kenapa, aku tertarik pada buku ini. Aku pun memutuskan membawanya turun untuk membacanya.”
“Buku itu seperti diary?” Robert berkata setelah memicingkan mata. Menatap buku di tangan Annie baik-baik.
“Buku ini memang diary.” Annie membenarkan.
“Apa penulisnya tidak kenal yang namanya blog?” Komentar Robert seenaknya.
“Penulis diary ini lahir pada tanggal 9 Mei 1980.” Annie membuka halaman pertama. “Dan tulisan terakhirnya tertanggal 5 Agustus 1998. Pada tahun 90-an, sangat umum bagi seorang anak remaja menulis uneg-unegnya dalam buku harian seperti ini.”
“Siapa nama penulisnya?”
“Hewitt.” Mata Annie yang tengah menatap diary itu seakan tengah melayang ke dunia lain. “Nama pemiliknya adalah Erin Hewitt.”
“Lalu apa yang kau …,” Robert berusaha mencari kata-kata yang tidak akan menyinggung perasaan teman masa kecilnya itu. “eh, maksudku, …apa yang kau harapkan dariku?”
“Aku ingin kau membantuku dengan membaca diary ini.” Annie mengalihkan pandangannya dari diary. Kembali menatap Robert. kemudian mengulurkan diary itu kepadanya. "Kau mau, 'kan?
Selama beberapa saat, Robert hanya menatap diary yang terulur ke arahnya itu.
“Maaf …,” Robert tertawa. “tapi bukankah membaca buku harian itu melanggar privacy?”
“Itu tidak lagi penting.” Jawab Annie dengan tangan masih terulur.