Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #1

1

Dunia kerja sering kali datang dengan segala aturan yang tidak tertulis. Jam-jam yang panjang, ekspektasi yang tinggi, dan kompetisi yang tak pernah berhenti. Itulah yang kuhadapi setiap hari. Ketika aku pertama kali melangkah ke kantor ini, aku tidak menyangka bahwa hidupku akan berubah begitu drastis. Semua yang aku pikirkan hanyalah bagaimana menyelesaikan tugas dan meraih target, tanpa memikirkan hubungan atau perasaan yang mungkin muncul di luar sana.

Tapi itu sebelum aku bertemu dengannya.

Mateo. Namanya sudah cukup membuatku bingung sejak pertama kali mendengarnya. Dia adalah sosok yang penuh dengan karisma, namun tetap menutup dirinya di balik dinding ketegasan. Kami berdua berada dalam dunia yang sama, bekerja untuk tujuan yang sama, tetapi tak pernah benar-benar berbicara lebih dalam. Saling mengenal, namun hanya sebatas permukaan.

Tentu, aku tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ada sesuatu yang berbeda setiap kali dia berada di dekatku. Mungkin itu karena cara dia melihatku, atau bagaimana suaranya terdengar lebih hangat saat dia memberikan instruksi. Apapun itu, aku mulai merasakan ada sebuah ketegangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, aku tetap berusaha menjaga jarak, karena inilah tempat kerja, dan perasaan tak boleh mengganggu.

Tapi kehidupan tidak selalu bisa dikendalikan.

Ada sebuah pertemuan yang tak terduga, sebuah momen di luar jam kerja, yang mengubah segalanya. Kami terjebak dalam situasi yang memaksa kami untuk berbicara lebih banyak, mengenal satu sama lain lebih dalam. Dan tanpa kami sadari, pekerjaan yang tadinya menjadi segalanya mulai bergeser. Mungkin, dalam perjalanan ini, kami akan menemukan lebih dari sekadar kesuksesan di kantor. Kami akan belajar tentang kepercayaan, tentang cemburu, tentang hubungan yang kadang-kadang sangat rumit namun penuh makna.

Kami berdua tidak siap untuk apa yang akan datang, tetapi seperti yang sering kuingat—kehidupan ini penuh kejutan, dan terkadang, kita harus menghadapinya dengan hati terbuka.

Aku tahu, meskipun kami berada di dunia yang kompetitif ini, terkadang, cinta datang dengan cara yang paling tak terduga.

Dan itu semua dimulai dengan sebuah kata, sebuah pandangan, dan keputusan yang akan mengubah segalanya.

Langit Senin pagi ini menggantung kelabu. Hujan tipis turun sejak subuh, membuatku harus berlari kecil sambil menahan payung agar tidak diterbangkan angin. Di tanganku, tas kerja baru yang sengaja kupilih semalam terasa sedikit berat, seolah ikut menambah beban perasaanku yang sudah tegang dari tadi.

Aku menyeberangi jalanan dengan tergesa menuju gedung bertingkat dengan kaca-kaca biru itu — Verde Agency — kantor baruku. Napasku memburu, sepatu hakku mengetuk lantai marmer lobi dengan ritme yang memalukan kerasnya.

"Selamat pagi," sapaan petugas keamanan terdengar ramah.

"Selamat pagi," balasku, menyunggingkan senyum kecil, walau dalam hati ingin sekali meringis karena basah dan berantakan.

Aku menekan tombol lift dan menunggu di antara beberapa orang lain. Begitu pintu terbuka, aku berdesakan masuk, mencoba tetap menjaga sikap meski lututku sedikit gemetar. Tanganku sibuk membenarkan rambutku yang acak-acakan karena angin.

Aku menarik napas panjang. Ini hari pertamaku di Verde, agensi pemasaran bergengsi yang bahkan disebut-sebut dalam berita bisnis nasional. Rasanya semua orang di sini begitu profesional, begitu percaya diri — dan aku? Aku hanya berharap bisa bertahan tanpa membuat kekacauan besar di jam pertama.

Lift berhenti di lantai lima belas. Aku melangkah keluar, langsung disambut pemandangan lautan meja kerja terbuka, suara telepon berdering, orang-orang berbicara cepat dengan laptop terbuka di depan mereka. Semuanya tampak sibuk, seolah waktu berjalan lebih cepat di ruangan ini.

Aku sempat berdiri kaku di dekat pintu lift sebelum seorang perempuan berambut bob dan blazer hitam menghampiriku dengan senyum hangat.

"Kamu Amelia, ya?" tanyanya.

"Iya, saya Amelia," jawabku sambil cepat mengangguk.

"Aku Clara, manajermu. Sini, aku antar ke mejamu."

Aku mengikuti Clara melewati lorong kecil di antara kubikel-kubikel. Wangi kopi dan suara ketikan keyboard memenuhi udara.

"Kamu akan kerja di divisi kreatif," katanya sambil menunjuk ke sebuah area dekat jendela besar. "Meja kamu di situ. Dan ini..." Clara menunjuk ke meja di sebelahku, "...adalah rekan kerjamu, Mateo."

Aku menoleh.

Di sana, duduk seorang pria dengan kemeja putih yang lengannya digulung rapi sampai siku. Rambutnya hitam, sedikit berantakan dengan cara yang entah bagaimana justru terlihat keren. Dia mengetik cepat di laptopnya tanpa memandang ke arah kami, seolah dunia lain tidak ada.

"Mateo, ini Amelia. Dia baru bergabung hari ini," ujar Clara.

Mateo hanya melirik sekilas, mengangguk sedikit. "Halo," ucapnya singkat.

Aku membalasnya dengan senyum kecil yang mungkin lebih gugup daripada ramah.

"Jangan tersinggung, ya. Dia memang begitu orangnya. Nanti juga terbiasa," bisik Clara sambil tersenyum geli.

Aku tertawa kecil, mencoba menghilangkan rasa canggung yang menggantung.

"Untuk sekarang, kamu bisa mulai bereskan meja dan baca-baca dulu proyek yang sedang kami kerjakan," kata Clara sambil menyerahkan satu bundel dokumen. "Nanti siang ada briefing tim."

"Baik, Kak," jawabku.

Aku duduk di kursi empuk baru yang sedikit terlalu besar untuk tubuhku. Begitu membuka dokumen yang diberikan Clara, mataku langsung dipenuhi istilah marketing yang asing dan tabel-tabel aneh.

Kupandangi Mateo dari sudut mataku. Ia mengetik cepat, wajahnya serius. Seolah deadline sudah membayang di atas kepalanya.

Lihat selengkapnya