Hari-hari setelah rapat itu berlalu dengan cepat. Aku merasa semakin terjebak dalam rutinitas yang tidak ada habisnya—dengan pekerjaan yang terus menumpuk dan Mateo yang terus mengabaikan segala bentuk percakapan di luar pekerjaan. Aku tidak tahu mengapa itu begitu menggangguku, tapi entah kenapa, kehadirannya begitu membebani pikiranku.
Hari ini, kami diberi tugas baru. Clara meminta kami untuk melakukan presentasi konsep visual pada klien yang datang untuk melihat kemajuan proyek. Itu adalah tantangan besar, dan aku tahu bahwa pekerjaan ini harus sempurna. Namun, ada satu hal yang lebih besar dari itu yang menggangguku: bagaimana cara bekerja dengan Mateo tanpa terperangkap dalam kesulitan komunikasi kami.
Saat kami sedang mempersiapkan presentasi di ruang rapat, aku merasa ada ketegangan yang terus terpendam antara kami berdua. Aku berdiri di depan layar proyektor, mencoba mengatur materi yang akan kami presentasikan, sementara Mateo duduk di meja, memeriksa catatannya dengan sikap yang hampir tidak peduli.
"Amelia, jangan lupa untuk menonjolkan bagian ini," katanya tiba-tiba tanpa menatapku. Suaranya datar, seperti biasa, namun ada sesuatu yang membuat jantungku sedikit berdebar.
Aku menoleh, mencoba untuk memahami maksudnya. "Bagian ini?" aku bertanya, menunjuk pada bagian yang dimaksud.
Dia mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi. "Kamu harus lebih percaya diri. Klien ini menginginkan ide yang berani, bukan yang biasa-biasa saja."
Aku bisa merasakan sedikit emosi yang keluar dari kata-katanya, meskipun nada suaranya tetap terkendali. Seolah ada dorongan untuk aku menjadi lebih dari sekadar profesional yang diam. Namun, apakah itu berarti dia peduli? Atau apakah dia hanya mencoba memberi saran dengan cara yang kurang ramah?
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku akan coba lebih berani," jawabku, meskipun sedikit ragu.
Akhirnya, rapat dimulai. Klien kami, pasangan muda yang terlihat sangat bergairah tentang proyek mereka, duduk di hadapan kami, menatap dengan penuh perhatian. Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Ini bukan hanya tentang pekerjaan lagi; ini adalah tentang bagaimana kami berdua akan tampil sebagai tim.
Mateo dan aku mulai mempresentasikan konsep yang telah kami kerjakan. Ada beberapa momen di mana aku bisa merasakan dia mengalihkan pandangan dari layar untuk melihat reaksiku, atau mungkin memeriksa apakah aku benar-benar menguasai presentasi ini. Dia tidak mengatakan apapun, tapi aku tahu dia mengawasi.
Presentasi berjalan lancar, dan klien tampaknya cukup puas dengan ide yang kami tawarkan. Setelah beberapa menit diskusi, mereka memberi persetujuan dan mengatakan akan segera memberi kabar lebih lanjut. Aku menghela napas lega saat rapat selesai.
Namun, setelah klien keluar, aku merasa sedikit lelah. Tidak hanya karena pekerjaan, tapi juga karena interaksi yang begitu penuh tekanan dengan Mateo. Aku tahu aku harus menghargai profesionalismenya, tetapi ada bagian dari diriku yang ingin dia lebih terbuka, lebih manusiawi. Kenapa dia selalu menjaga jarak? Mengapa segalanya selalu tentang pekerjaan dan bukan tentang kami sebagai rekan kerja yang seharusnya bisa saling memahami?
Saat aku menyimpan bahan presentasi ke dalam folder, Mateo tiba-tiba mendekat. "Kamu bagus tadi," katanya dengan nada datar. Tapi kali ini, aku bisa mendengar sedikit ketulusan dalam suaranya.
Aku menatapnya, terkejut dengan pujian itu. "Terima kasih," jawabku pelan, merasa sedikit canggung.
Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya mengangguk dan berbalik menuju mejanya. Sebelum dia pergi, aku melihat sekelebat ekspresi yang mungkin bisa disebut senyum. Sangat tipis, hampir tak terlihat. Tapi aku tidak bisa mengabaikannya.
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Mateo, yang selalu terlihat dingin dan terkontrol, akhirnya memberi pujian—sesuatu yang langka bagiku. Apa artinya itu? Apakah dia mulai membuka diri, atau apakah ini hanya bentuk formalitas?
Aku menggigit bibir bawahku, berusaha mengabaikan perasaan yang semakin sulit kubendung. Apa yang sebenarnya aku harapkan? Perhatian lebih darinya? Atau hanya ingin tahu apakah dia bisa melihatku lebih dari sekadar rekan kerja?
Satu hal yang aku tahu: tidak ada jawaban yang mudah dalam hal ini. Semua ini—kerja, perasaan, ketegangan—bercampur menjadi satu, dan aku merasa semakin terperangkap.
Hari-hari semakin berjalan dengan cepat, dan tekanan kerja semakin intens. Tugas demi tugas datang silih berganti, dan aku merasa seperti tenggelam dalam lautan deadline yang tidak pernah berakhir. Tapi ada satu hal yang terus menggoda pikiranku: Mateo.
Aku mencoba untuk fokus pada pekerjaan, tetapi kadang-kadang aku tidak bisa menghindari pikiran tentang sikapnya yang misterius. Dia adalah sosok yang sangat berbeda dari siapa pun yang pernah aku temui. Di satu sisi, dia sangat profesional, berorientasi pada tujuan, dan selalu berhasil menjaga jarak. Di sisi lain, ada saat-saat tertentu ketika aku menangkap sisi lain dari dirinya—sisi yang sedikit lebih lembut, lebih manusiawi. Tapi itu jarang sekali muncul, dan aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Hari ini, aku duduk di meja dengan beberapa berkas proyek yang menumpuk di depanku. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan sebagian besar rekan-rekan kantor sudah pulang. Hanya tinggal aku dan Mateo di sini, bekerja dalam keheningan yang hampir tidak bisa dipahami.
Ketika aku menatap layar laptopku, aku melihat Mateo berdiri di jendela, menatap keluar dengan ekspresi yang tampaknya penuh pemikiran. Dia terlihat berbeda, seperti sedang terhanyut dalam pikirannya sendiri, jauh dari kesibukan pekerjaan. Aku tertegun sejenak, bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya.
"Mateo," aku memanggilnya dengan suara yang cukup pelan, mencoba untuk menarik perhatiannya. "Kamu sudah selesai dengan bagianmu?"
Dia menoleh sedikit, lalu mengangguk. "Sudah. Aku hanya... berpikir," jawabnya dengan nada datar, namun aku bisa merasakan ada sedikit keraguan dalam suaranya. Seperti ada hal yang tidak bisa dia katakan.
Aku merasa sedikit canggung, tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Ada banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan, tapi rasanya sulit sekali untuk memulai.
"Apakah semuanya berjalan lancar?" aku bertanya, berusaha terdengar santai.
Mateo menatapku sejenak, seolah menilai apakah dia harus menjawab pertanyaanku atau tidak. "Aku tidak tahu. Terkadang aku merasa... seperti ada sesuatu yang tidak beres, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya."
Aku terdiam, sedikit terkejut dengan keterbukaannya kali ini. Biasanya, dia begitu tertutup, hampir seperti tembok kokoh yang tidak mudah ditembus. Namun, kali ini, dia terdengar berbeda—lebih manusiawi, lebih terbuka.
"Apa maksudmu?" aku bertanya pelan, ingin tahu lebih lanjut.
Dia menghela napas panjang, lalu berjalan menuju mejanya. "Kadang, pekerjaan ini terasa seperti beban yang tidak ada habisnya. Semua orang mengharapkan kesempurnaan, dan itu membuatmu merasa... kosong."
Aku memandangnya dengan perhatian lebih dalam. Mateo, yang selalu tampak seperti sosok yang kuat dan tegas, ternyata juga merasa kelelahan. Itu adalah sisi lain dari dirinya yang belum pernah aku lihat sebelumnya.