Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #3

3

Pagi hari setelah percakapan kami semalam terasa begitu sunyi. Aku mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaan yang menumpuk di atas meja, tetapi pikiranku terus melayang ke arah Mateo. Apakah dia benar-benar serius? Atau apakah ini hanya salah paham antara kami? Rasanya seperti ada gelombang besar yang datang menghantamku, memaksa aku untuk memilih jalan yang penuh ketidakpastian.

Aku melirik sekilas ke arah Mateo yang duduk di meja kerjanya. Dia tampak sibuk, mengetik cepat di laptopnya, tampak tenang, meskipun ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia bergerak. Seperti ada ketegangan yang sulit dijelaskan, tetapi tetap ada.

Tidak lama kemudian, dia menoleh ke arahku, lalu tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip dengan senyum yang penuh tanda tanya. Aku mengangguk pelan sebagai balasan, mencoba terlihat profesional meskipun hatiku mulai berdebar kencang.

Ketika waktu istirahat tiba, aku pergi ke pantry untuk membuat secangkir kopi. Rasa cemas di dalam diriku semakin meningkat. Apa yang sebenarnya kami harapkan dari situasi ini? Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir tentang segala kemungkinan yang ada. Semua keputusan yang harus diambil, tentang hubungan kami, tentang pekerjaan kami... semuanya terasa begitu membingungkan.

Saat aku kembali ke meja, Mateo sudah berdiri, seperti menunggu sesuatu. Aku berjalan mendekat, sedikit ragu, tapi tetap berusaha menjaga sikap profesional.

"Amelia," katanya pelan, tanpa banyak basa-basi. "Aku ingin kita menyelesaikan ini. Tentang apa yang kita rasakan. Tentang hubungan kita."

Aku menatapnya, ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Aku juga ingin tahu. Apa yang sebenarnya kita lakukan? Apakah kita hanya terjebak dalam permainan perasaan yang tidak jelas, ataukah ada sesuatu yang lebih?"

Mateo menghela napas panjang. "Aku tahu ini tidak mudah. Kita punya batasan, kita bekerja di tempat yang sama, dan aku tidak ingin mengganggu profesionalisme kita. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal perasaan ini, Amelia. Apa yang kita rasakan lebih dari sekadar perasaan sesaat."

Aku bisa merasakan ketulusan dalam suaranya. Ada sebuah kejujuran yang membuatku mulai membuka diri. Meskipun aku masih ragu, meskipun aku takut akan konsekuensinya, aku tahu bahwa kami berdua tidak bisa menghindari perasaan yang berkembang di antara kami.

"Jadi, apa yang kamu inginkan?" tanyaku, suara sedikit bergetar.

Mateo menatapku dengan penuh keyakinan, seolah-olah dia sudah memutuskan sesuatu dalam dirinya. "Aku ingin kita memberi kesempatan pada hubungan ini, Amelia. Tapi dengan satu syarat: kita harus bisa menjaga profesionalisme kita. Tidak ada yang bisa mengganggu pekerjaan kita."

Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Dia benar, tentu saja. Kami tidak bisa membiarkan hubungan pribadi kami merusak pekerjaan kami. Tetapi di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang sangat kuat yang menghubungkan kami berdua. Aku tidak bisa hanya mengabaikannya begitu saja.

"Aku setuju," jawabku akhirnya, meskipun dengan sedikit keraguan. "Tapi ini tidak akan mudah, Mateo. Kita harus hati-hati."

Mateo tersenyum, kali ini lebih tulus. "Aku tahu. Tapi aku ingin mencoba, jika kamu juga siap."

Kami berdua saling menatap, seperti ada banyak hal yang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Hanya ada pemahaman yang diam-diam terbentuk di antara kami. Kami mungkin tidak memiliki jawaban untuk semuanya, tetapi untuk pertama kalinya, kami berdua merasa sedikit lebih yakin bahwa kami ingin berjalan bersama, meskipun ada banyak ketidakpastian di depan.

Saat dia pergi kembali ke mejanya, aku duduk dengan perasaan yang campur aduk. Keputusan ini akan mengubah banyak hal, dan aku tahu itu. Namun, di balik ketidakpastian dan ketegangan ini, ada sebuah harapan yang perlahan tumbuh di dalam diriku. Mungkin, hanya mungkin, kami bisa melewati semuanya bersama.

Setelah percakapan dengan Mateo, rasanya dunia ini tiba-tiba berubah. Meski aku mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaan, pikiranku selalu kembali kepada keputusan yang baru saja kami buat. Perasaan itu—entah bagaimana, entah kenapa—terus menggelayuti, memaksa aku untuk bertanya-tanya apakah kami benar-benar siap untuk apa yang akan datang.

Aku duduk di mejaku, menatap layar komputer dengan sedikit keraguan. Tugas-tugas di depan mata yang biasanya terasa mudah kini seolah menjadi beban berat. Setiap ketikan di keyboard terasa lebih lambat, setiap klik mouse terasa lebih berat. Pikiran tentang Mateo dan apa yang telah kami putuskan mengekang setiap gerakanku.

Di tengah kebingunganku, ponselku bergetar, mengganggu kesunyian di meja kerjaku. Aku melirik layar, dan ternyata ada pesan dari Mateo.

"Amelia, aku ingin bicara lebih lanjut tentang apa yang kita putuskan. Mungkin kita bisa pergi makan siang bersama nanti? Aku rasa kita perlu menyusun langkah selanjutnya."

Aku memandang pesan itu, hatiku berdebar. Sepertinya keputusan yang kami buat semalam belum cukup untuk menenangkan semuanya. Kami masih perlu berbicara lebih banyak, untuk menjelaskan lebih jauh tentang apa yang ada di pikiran kami. Tapi jujur, aku sedikit takut. Takut bahwa percakapan ini akan mengarah pada keputusan yang lebih sulit, atau bahkan lebih rumit.

Aku membalas pesan itu dengan cepat. "Oke, kita bicarakan saat makan siang."

Setelah itu, aku kembali melanjutkan pekerjaan, meskipun pikiranku terus terpecah. Setiap kali aku melihat Mateo di ruang kerja, entah mengapa hatiku berdebar tak karuan. Aku sadar bahwa aku tidak bisa terus-menerus menghindari kenyataan ini. Kami sudah memasuki wilayah yang lebih rumit, dan meskipun aku tahu aku harus lebih berhati-hati, aku juga tidak bisa menyangkal perasaan yang semakin kuat di dalam diriku.

Saat makan siang tiba, aku dan Mateo duduk di sebuah kafe kecil yang jarang dikunjungi orang. Kami memilih tempat duduk di pojok ruangan, dengan suasana yang sedikit lebih tenang. Aku mengamati sekeliling, berusaha menenangkan diriku sebelum memulai percakapan yang lebih berat.

Mateo duduk di depanku dengan wajah yang sedikit tegang, tetapi tetap berusaha menjaga suasana agar tidak terlalu kaku. Kami memesan makan siang, lalu duduk sejenak dalam keheningan, masing-masing meresapi situasi ini. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, meskipun kami belum mengatakan apapun.

"Jadi..." Aku memulai, suaraku terdengar lebih kecil dari yang aku inginkan. "Apa yang sebenarnya kita lakukan, Mateo? Apa yang kita harapkan dari hubungan ini?"

Mateo mengangkat pandangannya dari piringnya dan menatapku dengan mata yang lebih serius. "Aku tidak tahu, Amelia. Aku hanya tahu bahwa aku merasa ada sesuatu yang lebih besar antara kita. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mencoba. Tapi aku juga tidak ingin merusak semuanya hanya karena perasaan yang belum tentu bisa bertahan."

Aku mengangguk pelan. "Aku juga merasa seperti itu. Kita berada di titik yang sangat rumit. Kita harus berhati-hati."

"Benar," jawab Mateo, dan untuk sesaat, dia terdiam. "Aku pikir, kita perlu jelas tentang apa yang kita inginkan. Jika kita benar-benar ingin mencoba, kita harus siap dengan konsekuensinya."

"Apa konsekuensinya?" Aku bertanya, meskipun aku sudah bisa menebak apa yang akan dia katakan.

Lihat selengkapnya