Hari-hari setelah pertemuan di kantin itu terasa penuh ketegangan. Kami berdua, Mateo dan aku, tidak banyak berbicara tentang perasaan yang sebenarnya kami rasakan. Ada semacam jarak tak terlihat yang terbentuk di antara kami, meskipun kami berusaha untuk tetap terlihat profesional di kantor. Semua seolah kembali seperti semula, namun aku tahu, perasaan kami tidak bisa disembunyikan begitu saja.
Pagi itu, aku duduk di mejaku dengan pandangan kosong menatap layar komputer. Pikiran-pikiranku terombang-ambing antara pekerjaan yang menumpuk dan perasaan yang mulai mengganggu keseharianku. Aku tahu, jika aku terus menerus menahan diri, aku hanya akan semakin tersiksa. Tetapi, apa yang seharusnya aku lakukan?
Aku menarik napas panjang dan memutuskan untuk membuka email yang masuk. Namun, mata ku tetap tertuju pada nama yang tak bisa aku abaikan—Mateo. Dia duduk di mejanya, sibuk dengan pekerjaan, tetapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Mungkin dia merasa hal yang sama. Ketika aku mengalihkan pandangan, aku melihat dia menatap layar komputernya dengan fokus penuh, namun sesekali matanya melirik ke arahku. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kerja sama profesional.
Aku menggelengkan kepala, berusaha menepis perasaan itu. Ini bukan saatnya untuk terjebak dalam perasaan pribadi, terutama di tempat kerja. Meskipun aku ingin berbicara dengannya, aku tahu kami harus lebih berhati-hati. Tidak hanya karena hubungan kami yang bisa memengaruhi pekerjaan, tetapi juga karena perasaan kami yang belum sepenuhnya jelas.
Saat istirahat makan siang tiba, aku memutuskan untuk keluar sebentar. Aku butuh udara segar dan sedikit waktu untuk berpikir. Aku berjalan keluar dari gedung kantor, menuruni tangga menuju kafe terdekat. Meskipun langit mendung, cuaca masih cukup sejuk untuk berjalan. Aku memutuskan untuk duduk di meja pojok, memesan secangkir kopi, dan membiarkan pikiranku melayang.
Namun, beberapa menit setelah aku duduk, ponselku berdering. Nama Mateo muncul di layar. Aku menatapnya sejenak, ragu untuk menjawab. Meskipun aku ingin berbicara dengannya, aku juga tidak ingin terlihat terlalu terburu-buru. Aku menarik napas, lalu menjawab telepon.
"Halo?" suaraku sedikit bergetar, meskipun aku berusaha terdengar tenang.
"Amelia," suara Mateo terdengar serak, seperti ada ketegangan di ujung sana. "Aku pikir kita perlu berbicara lagi. Tentang kita. Tentang apa yang kita rasakan."
Aku menutup mata sejenak, merasa perasaan itu datang lagi—perasaan yang sudah lama terpendam, tetapi semakin sulit untuk dihindari. "Aku tahu," jawabku pelan. "Aku rasa kita memang harus berbicara. Tapi tidak di sini. Tidak sekarang."
"Aku paham," jawabnya, terdengar kecewa meskipun berusaha menahan diri. "Tapi aku rasa kita tidak bisa menghindari ini selamanya. Aku tidak ingin kita terjebak dalam ketidakjelasan."
Aku mengangguk meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Aku juga tidak ingin itu," kataku pelan. "Mungkin kita bisa bicara nanti. Setelah jam kerja?"
"Baik," jawabnya, terdengar lebih lega. "Aku tunggu di luar kantor. Kita bicara lebih baik di tempat yang lebih tenang."
Aku mengakhiri percakapan dan menatap secangkir kopiku, berpikir keras. Ada begitu banyak hal yang belum terselesaikan antara kami. Aku merasa bingung, cemas, dan juga sedikit takut. Apakah keputusan ini akan mengubah segalanya? Apakah aku siap untuk itu?
Waktu berlalu begitu cepat, dan aku kembali ke kantor dengan perasaan yang masih tidak jelas. Mateonya menunggu di luar gedung seperti yang kami rencanakan. Dia tersenyum sedikit saat melihatku mendekat, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang memberi tahu bahwa dia juga merasa cemas.
"Terima kasih sudah datang," katanya begitu aku berdiri di depannya. Kami berjalan bersama, mencari tempat yang agak sepi untuk duduk. Setelah beberapa saat, kami menemukan sebuah taman kecil di dekat gedung kantor. Tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang yang duduk di bangku, menikmati waktu senggang mereka.
Kami duduk di bangku taman itu, dan untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara. Hanya suara angin yang berhembus lembut dan bunyi langkah kaki dari orang-orang yang berjalan lewat.
"Amy," katanya akhirnya, memecah keheningan. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku benar-benar ingin tahu apa yang kamu rasakan. Kita tidak bisa terus begini tanpa ada kejelasan."
Aku menatapnya, merasakan rasa cemas yang sama. "Aku takut, Mateo. Aku takut jika kita terlalu terbuka tentang perasaan ini, kita bisa merusak segalanya—terutama pekerjaan kita."
Dia mengangguk, matanya tetap menatapku. "Aku tahu, aku juga merasa sama. Tapi aku tidak ingin kita hidup dalam ketakutan. Kita perlu kejelasan, bahkan jika itu berarti kita harus membuat keputusan besar."
Aku menggigit bibir bawah, berpikir sejenak. "Apa yang kamu harapkan dari semua ini?" tanyaku akhirnya, suaraku lebih lembut dari yang aku duga.
Mateo terdiam sejenak, sebelum menjawab dengan pelan. "Aku berharap kita bisa lebih dari sekadar rekan kerja. Aku ingin kita memiliki kesempatan untuk mencoba. Meskipun aku tahu itu akan sulit."
Perasaan itu datang lagi—perasaan yang tak bisa disembunyikan. Aku merasa hatiku berdebar, tapi aku juga tahu, tidak ada lagi ruang untuk menghindari kenyataan ini.
"Aku juga merasa begitu, Mateo," jawabku akhirnya, suaraku sedikit tergetar. "Tapi kita harus berhati-hati. Kita tidak bisa mengabaikan konsekuensinya."
Dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. "Kita akan melaluinya bersama-sama, Amelia. Apa pun yang terjadi."
Aku menatapnya dalam-dalam, dan meskipun ada banyak ketidakpastian, aku merasakan sebuah harapan yang mulai tumbuh di dalam diri. Ini bukanlah akhir, tetapi sebuah awal yang baru—meskipun aku tahu perjalanan kami ke depan tidak akan mudah.
Setelah pertemuan di taman itu, perasaan kami tidak langsung menjadi lebih mudah. Kami sepakat untuk menjaga profesionalisme di kantor, meskipun kenyataannya, perasaan kami semakin sulit untuk disembunyikan. Setiap tatapan, setiap senyuman, dan bahkan setiap percakapan kecil terasa seperti sebuah teka-teki yang semakin sulit dipecahkan.
Namun, hari demi hari, kami berusaha menjaga batasan di tempat kerja. Kami berbicara sebatas pekerjaan, tidak lebih dari itu. Meskipun begitu, aku merasa ada ketegangan yang terus mengendap di antara kami. Ada yang belum terselesaikan, meskipun kami berusaha untuk menutupi segalanya dengan sikap profesional.
Hari itu, aku terjebak dalam rapat yang terasa tidak ada habisnya. Rapat demi rapat berlalu, dan aku mulai merasa lelah. Pekerjaan terus menumpuk, dan aku semakin merasa tertekan. Saat rapat selesai, aku langsung kembali ke meja untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Namun, aku merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran. Sesuatu yang tidak bisa kuabaikan lagi.
Aku menghela napas dan melihat ke arah meja Mateo. Dia terlihat sedang fokus pada layar komputernya, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Mungkin dia merasakan hal yang sama. Aku merasa tidak bisa terus berpura-pura seperti ini. Mungkin sudah saatnya kami menghadapi kenyataan dan mengambil keputusan yang lebih jelas.
Aku berdiri dan berjalan mendekati mejanya, menyapa dengan suara pelan, "Mateo, ada waktu sebentar?"