Hari-hari setelah percakapan kami terasa seperti berputar dalam pusaran waktu yang cepat. Aku masih berusaha mencari keseimbangan antara perasaan dan pekerjaan. Ketegangan antara aku dan Mateo tidak hilang begitu saja, meskipun kami berdua berusaha untuk menjaga profesionalisme kami. Tetapi, semakin lama aku berusaha untuk mengabaikan perasaan itu, semakin sulit rasanya. Setiap detik di kantor, setiap kali aku bertemu mata dengan Mateo, aku merasakan ada sesuatu yang lebih besar di antara kami, dan itu semakin kuat.
Pagi itu, aku duduk di meja kerjaku, mencoba untuk fokus pada laporan yang harus aku selesaikan sebelum siang. Tumpukan pekerjaan semakin menumpuk, dan aku merasa seperti tenggelam di dalamnya. Namun, saat aku menatap layar komputer, mataku tak sengaja bertemu dengan Mateo yang baru saja keluar dari ruang rapat. Senyum tipis di wajahnya membuat jantungku berdebar.
"Aku harap kamu tidak terlalu lelah," katanya, mendekat ke mejaku. Suaranya lembut, tetapi ada kesan kekhawatiran yang samar.
Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan yang ada. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kewalahan."
Mateo menyandarkan tubuhnya ke meja, tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Kamu selalu berkata begitu, padahal aku tahu kamu lebih dari itu. Kamu tidak bisa terus menahan semuanya sendiri, Amelia."
Aku menarik napas panjang. Aku tahu dia khawatir, tetapi aku juga tidak ingin terlalu mengandalkan dia. "Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya dengan baik. Itu saja."
"Dan kamu akan melakukannya," jawabnya dengan keyakinan. "Tapi ingat, aku ada di sini, kalau kamu butuh bantuan."
Aku menatapnya, merasakan ada sesuatu yang dalam dalam pandangan mata kami. Terkadang, rasanya aku ingin melupakan semuanya—lupakan ketakutan dan kecemasan tentang masa depan, lupakan keputusan yang harus diambil, dan hanya fokus pada perasaan ini. Tapi aku tahu aku tidak bisa begitu saja menyerah. Ini bukan tentang kami berdua saja; ini tentang pekerjaan yang sudah kami perjuangkan selama ini.
"Terima kasih, Mateo," kataku, mengangguk. "Aku akan mengingat itu."
Mateo tersenyum, lalu melangkah pergi dengan perlahan. Meskipun dia tidak berkata lebih banyak, aku bisa merasakan kehangatan yang dia tinggalkan. Aku menatapnya pergi, perasaan campur aduk kembali menghantui hatiku. Aku ingin menjauhkan diriku dari perasaan ini, tetapi semakin aku mencoba, semakin terasa berat. Mateo sudah menjadi bagian dari hidupku, baik di kantor maupun di luar itu.
Tak lama setelah itu, pertemuan dengan klien besar yang sudah lama kami persiapkan akhirnya tiba. Ini adalah saat yang krusial, bukan hanya untuk tim kami, tetapi juga untuk perusahaan. Kami harus memberikan yang terbaik, tidak hanya untuk klien, tetapi juga untuk diri kami sendiri.
Aku duduk di ruang rapat, menunggu kedatangan klien, dengan Mateo di sebelahku. Kami saling memberikan pandangan cepat, mengatur strategi terakhir. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, hanya gerakan-gerakan kecil yang menunjukkan bagaimana kami saling mendukung tanpa harus berbicara.
Satu jam kemudian, kami menyelesaikan presentasi, dan hasilnya lebih baik dari yang kami harapkan. Klien tampak terkesan dengan kerja keras kami. Aku merasa lega, meskipun ada sedikit rasa cemas yang masih tersisa di dalam hatiku. Mateo menatapku dengan senyum puas di wajahnya, seolah mengatakan, "Kita berhasil."
Namun, begitu kami keluar dari ruang rapat, sebuah perasaan baru muncul dalam diriku. Tidak hanya lega, tetapi juga takut. Aku takut kalau hubungan kami tidak akan pernah sama lagi. Aku takut kalau keputusan yang kami buat akan merusak segala sesuatu yang telah kami bangun. Tapi aku tahu, kami tidak bisa mundur lagi.
"Amelia," suara Mateo memecah lamunanku. "Aku ingin kita bicara setelah ini. Tentang... semuanya."
Aku menatapnya, sedikit ragu. "Aku juga ingin bicara, Mateo."
Dia tersenyum, meskipun aku bisa melihat kecemasan di matanya. "Kita cari waktu setelah jam kerja, ya? Aku rasa ini saat yang tepat untuk lebih jujur satu sama lain."
Aku mengangguk perlahan, merasakan jantungku berdegup lebih cepat. "Baik. Aku menunggu."
Seperti yang sudah aku duga, setelah jam kerja berakhir, kami duduk di sebuah kafe kecil di dekat kantor, jauh dari keramaian. Suasana yang tenang ini membuat kami lebih mudah untuk berbicara tentang apa yang kami rasakan, tanpa gangguan dari dunia luar. Kami memesan dua cangkir kopi, dan kemudian, seperti yang aku harapkan, Mateo membuka percakapan.
"Amelia," katanya, memulai dengan nada yang lebih serius, "Aku tidak ingin hubungan ini menjadi beban. Aku tidak ingin kita saling menghindar atau merasa terjebak. Aku tahu kita berdua merasa sesuatu, dan aku ingin kita lebih jujur tentang itu. Tapi aku juga paham jika kamu butuh waktu untuk benar-benar siap."
Aku menatapnya, perasaan campur aduk memenuhi dadaku. "Mateo, aku juga merasa hal yang sama. Tapi aku takut kalau hubungan ini bisa merusak semuanya, terutama di kantor. Kita sudah terlalu jauh untuk bisa kembali ke titik awal."
Dia menggenggam tanganku, membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Aku tidak akan pernah membuatmu merasa seperti itu, Amelia. Aku ingin kita melangkah bersama, apapun itu. Kita bisa atur semuanya. Yang terpenting adalah kita berdua."
Aku menarik napas panjang, merasakan kenyamanan yang jarang aku rasakan. "Aku... aku juga ingin itu, Mateo. Tapi aku takut aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini."
Mateo tersenyum lembut. "Kita akan menghadapinya bersama. Perlahan, satu langkah pada satu waktu."
Aku mengangguk, meskipun hatiku penuh dengan keraguan. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa lagi menahan perasaan ini. Aku harus memutuskan apakah aku siap untuk melangkah lebih jauh bersama Mateo, atau tetap mempertahankan jarak yang ada di antara kami. Semua itu, hanya waktu yang bisa menentukan.
Kafe kecil itu masih sepi saat kami berdua duduk diam, hanya diiringi suara latar yang lembut dari percakapan pelanggan lainnya dan bunyi mesin kopi. Namun, meskipun suasana tenang, hatiku terasa bergejolak. Keputusan yang kami bicarakan tadi—untuk lebih jujur dan terbuka—adalah titik balik, sesuatu yang tidak bisa dianggap enteng. Setiap kata yang terucap di antara kami terasa begitu serius, seakan dunia di sekitar kami menghilang.
Setelah beberapa menit hening, akhirnya aku membuka mulut. "Mateo, aku... aku merasa bingung. Aku ingin mengambil langkah ini, tapi aku takut kalau aku malah merusak semuanya."
Mateo memandangku dengan penuh perhatian, seakan menunggu aku untuk melanjutkan. "Aku mengerti, Amelia. Tapi aku percaya kita bisa menghadapinya bersama. Tidak ada yang perlu kita sembunyikan lagi."
Aku mengangguk pelan. "Tapi bagaimana dengan pekerjaan? Bagaimana jika ini mempengaruhi tim atau klien kita? Kita sudah terlibat dalam proyek besar bersama, dan aku tidak ingin ada hal yang mengganggu itu."