Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan cemas yang sempat mereda kembali muncul. Aku mulai merasa seperti berada di ujung jurang, antara dua pilihan yang sama-sama menantang. Profesionalisme dan hubungan pribadi, keduanya berjalan berdampingan di jalan yang sempit, dan rasanya seperti hanya masalah waktu sebelum salah satu darinya tergelincir.
Hari itu, aku duduk di meja kerja, menatap layar komputer yang sepertinya tidak pernah berhenti mengeluarkan email yang penuh dengan deadline. Satu per satu, proyek besar yang harus segera diselesaikan datang, menambah ketegangan di antara rekan-rekan kerjaku. Aku tahu Mateo merasa tekanan yang sama, namun kami berusaha untuk tetap fokus.
Aku menatap layar, tapi pikiranku kembali teralihkan pada Mateo. Beberapa hari terakhir, kami lebih sering berbicara tentang pekerjaan daripada hal pribadi. Aku tahu itu penting, namun terkadang aku merindukan momen-momen ringan yang hanya bisa kami nikmati berdua. Apakah dia juga merasa hal yang sama?
Aku menghela napas, mencoba untuk mengalihkan pikiranku kembali pada pekerjaan. Namun, sesaat kemudian, suara ketukan di pintu membuatku terkejut.
"Amelia," suara Mateo terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. "Bisa bicara sebentar?"
Aku mengangguk, merasa sedikit terkejut karena sudah beberapa hari kami tidak berbicara panjang lebar. "Tentu, masuk."
Mateo melangkah masuk dan menutup pintu dengan pelan. Dia berdiri di depan meja kerjaku, wajahnya terlihat sedikit lebih serius dari biasanya.
"Ada yang ingin aku bicarakan," katanya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku merasa semakin sulit untuk menjaga jarak antara kita. Aku khawatir kita mulai kehilangan kendali, baik di tempat kerja maupun dalam hubungan kita."
Aku menatapnya, terkejut dengan ketulusan dalam suaranya. "Mateo, aku juga merasakannya. Tapi kita tidak bisa menyerah, kan? Kita sudah terlalu jauh untuk mundur."
Dia tersenyum tipis, tetapi tidak ada keceriaan dalam senyum itu. "Aku tidak ingin kita berdua hancur karena ini, Amelia. Apalagi karena pekerjaan. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang kita miliki."
Aku mengangguk perlahan, perasaan bercampur aduk di dalam dada. "Aku tahu, aku juga merasa bingung. Tapi apakah kita benar-benar bisa memisahkan semuanya? Apakah kita bisa terus bekerja bersama seperti ini tanpa ada yang berubah?"
Mateo diam beberapa saat, kemudian mendekat, duduk di kursi di samping meja kerjaku. "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku tidak ingin kehilangan apa yang kita miliki—baik pekerjaan maupun hubungan kita. Tapi aku juga tidak ingin kamu merasa tertekan."
Aku merasa ada kejujuran dalam kata-katanya, dan itu membuat hatiku berdebar. "Aku tidak ingin kehilangan semuanya juga, Mateo. Tapi kita harus jujur satu sama lain. Aku tidak bisa terus berpura-pura semuanya baik-baik saja."
Dia menatapku dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku melihat keraguan di matanya. "Aku merasa seperti kita sedang berjalan di atas tali, Amelia. Satu langkah salah, dan semuanya bisa berantakan."
Aku merasa hatiku berat. "Tapi kalau kita tidak mencoba, apakah kita akan bisa tahu? Aku tidak ingin menyesal nanti."
Mateo menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi, seakan mencari kekuatan dalam kesunyian. "Kita harus membuat keputusan. Kita tidak bisa terus berlarut-larut dalam kebingungannya."
Aku diam, meresapi kata-katanya. Keputusan. Kami memang harus membuat keputusan, tapi aku tahu itu tidak mudah. Aku meraih tangan Mateo, menggenggamnya erat, berharap dia merasakan keberadaanku di sisi ini.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanyaku, suara hampir berbisik.
Dia menatap tanganku, lalu mengangkat wajahnya, matanya penuh tekad. "Kita akan selesaikan ini bersama, apapun yang terjadi."
Aku mengangguk, mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kami akan baik-baik saja. Tidak ada yang pasti dalam hubungan ini, apalagi dengan pekerjaan yang terus menambah tekanan. Tapi, satu hal yang aku tahu—aku tidak ingin melepaskan Mateo begitu saja.
Kami berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi dengan setiap langkah, aku berharap kami bisa menemukan jalan yang benar—meski kadang-kadang terasa seperti kita hanya berjalan di tepi jurang.
Hari berikutnya, aku kembali bekerja dengan kepala penuh pertanyaan. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah hubungan kami akan bertahan? Atau apakah keputusan yang kami buat akan memisahkan kami lebih jauh? Aku tidak tahu jawabannya, tetapi satu hal yang pasti—aku akan terus berjalan bersama Mateo, apapun yang terjadi.
Keesokan harinya, aku dan Mateo kembali ke rutinitas kerja yang padat. Suasana di kantor terasa sedikit lebih kaku, seolah-olah ada ketegangan yang mengambang di antara kami, meskipun kami berusaha untuk tetap profesional. Kami saling memberi senyum singkat, tetapi di balik itu, ada banyak hal yang belum selesai dibicarakan.
Aku berusaha untuk fokus pada pekerjaan, tetapi pikiran tentang Mateo terus mengusik. Setelah percakapan kemarin, aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang besar. Apa yang seharusnya aku lakukan? Apakah kami bisa benar-benar menjaga keseimbangan antara hubungan pribadi dan profesional? Atau apakah kami harus memilih salah satu?
Selama beberapa minggu terakhir, aku merasa kami sudah semakin dekat, baik sebagai rekan kerja maupun sebagai pasangan. Tetapi tekanan dari pekerjaan yang terus bertambah dan keraguan yang muncul membuat semuanya tampak semakin rumit.
Aku menatap layar komputer, mencoba untuk menyelesaikan laporan yang harus diserahkan tepat waktu. Namun, pikiranku kembali melayang pada Mateo. Apa yang sedang dia rasakan sekarang? Apakah dia juga merasa seperti aku—tersesat di antara pekerjaan dan perasaan yang semakin dalam?
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatku terkejut.
"Amelia, ada waktu sebentar?" suara Mateo terdengar sedikit lebih lembut dari biasanya.
Aku tersenyum canggung, mencoba untuk menenangkan diri. "Tentu, masuklah."
Mateo masuk dengan langkah pelan, matanya terlihat lelah meskipun dia berusaha menyembunyikannya. Dia duduk di kursi di sebelah meja kerjaku, melepaskan jaket blazer yang biasa dia kenakan.
"Ada yang ingin aku bicarakan," katanya, nada suaranya serius.