Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #7

7

Saat Mateo mengemudikan mobil menuju restoran kecil yang katanya "tidak terlalu ramai," aku merasa gugup. Padahal biasanya aku cukup santai saat harus berbincang dengan rekan kerja, tapi entah mengapa, situasi ini terasa... berbeda. Lebih personal. Lebih mendebarkan.

"Tenang saja, Amelia," katanya sambil melirikku sekilas. "Kita cuma mau makan siang, bukan sidang skripsi."

Aku tertawa kecil, mencoba meredakan kegugupan yang terasa makin nyata. "Aku cuma... ya, agak tegang saja. Karena ini pertama kalinya kita pergi berdua, bukan karena urusan kantor."

Mateo tersenyum kecil. Senyuman yang, lagi-lagi, bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Aku juga," akunya ringan.

Tak butuh waktu lama, kami sampai di sebuah restoran bergaya vintage, tersembunyi di sudut jalan yang sepi. Tempatnya sederhana tapi hangat, dengan lampu-lampu kuning redup dan aroma kopi yang memenuhi udara. Rasanya seperti menemukan dunia kecil di tengah hiruk pikuk kota.

Kami duduk di sudut, dekat jendela, di meja kecil berdua. Pelayan datang dengan cepat, mencatat pesanan kami. Aku memilih sandwich dan lemon tea, sementara Mateo memesan pasta dan kopi hitam.

Beberapa saat, kami hanya berbincang soal hal-hal ringan—tentang proyek yang sedang kami tangani, tentang bos besar yang akhir-akhir ini lebih galak dari biasanya, tentang rekan kerja yang entah bagaimana selalu bisa menghilang saat jam-jam sibuk.

Tapi setelah makanan datang, Mateo meletakkan garpunya, menatapku serius.

"Amelia, aku tahu kita sudah sama-sama sepakat untuk mencoba perlahan... tapi aku ingin kamu tahu, aku serius dengan perasaanku."

Aku mematung sejenak, sandwich yang baru setengah jalan menuju mulutku pun kembali kutaruh ke piring.

Aku menelan ludah. "Mateo, aku... aku juga serius. Hanya saja, ini semua masih baru buatku. Aku takut kita mencampuradukkan pekerjaan dan perasaan... dan akhirnya menghancurkan keduanya."

Mateo mengangguk. "Aku paham. Kita akan jalan pelan-pelan. Kita jaga profesionalitas saat di kantor. Tapi di luar itu, aku ingin mengenalmu lebih dalam. Aku ingin tahu apa yang membuatmu tertawa, apa yang membuatmu marah, bahkan... apa yang membuatmu takut."

Aku menunduk, berusaha menyembunyikan senyum kecil yang muncul. Kata-katanya terasa begitu tulus, begitu hangat, hingga membuat benteng ketakutanku mulai retak.

"Kalau begitu... kita mulai dari mana?" tanyaku setengah bercanda, berusaha meringankan suasana.

Mateo mengangkat bahu. "Mungkin... dari hobimu?"

Aku tertawa kecil. "Baiklah. Aku suka membaca novel, menonton film klasik, dan... sesekali baking, meski hasilnya sering berakhir berantakan."

Mateo terkekeh. "Baking yang berantakan terdengar menarik. Aku mungkin harus mencobanya bersamamu suatu saat nanti."

Aku menggeleng sambil tertawa. Rasanya aneh, bagaimana obrolan sederhana ini membuat hatiku terasa ringan. Seolah-olah beban yang selama ini membebani pikiranku mulai terangkat satu demi satu.

Hari itu, makan siang kami mungkin hanya diisi obrolan ringan, tapi bagi hatiku, itu lebih dari cukup. Itu adalah langkah pertama kami menuju sesuatu yang baru, sesuatu yang, untuk pertama kalinya sejak lama, terasa... benar.

Usai makan siang, Mateo mengantarku kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan, suasana di antara kami terasa lebih ringan dibanding saat berangkat tadi. Ada rasa nyaman yang tidak ingin aku akui terlalu cepat—seolah setelah semua keraguan, aku mulai membiarkan diriku menikmati perasaan ini.

Saat memasuki lobi kantor, aku otomatis kembali memasang wajah profesionalku. Di sini, segala sesuatu harus tetap di tempatnya. Tidak ada tanda-tanda istimewa, tidak ada tatapan bermakna—setidaknya, itulah niatku.

Mateo melangkah beberapa langkah di belakangku, memberi ruang yang cukup supaya tidak terlihat terlalu dekat. Tapi tetap saja, aku bisa merasakan kehadirannya. Hangat, intens, bahkan saat ia tidak mengatakan apa pun.

Aku baru saja duduk di meja saat Rani, rekan satu timku, langsung menghampiri dengan ekspresi penasaran.

"Hei, kamu ke mana aja? Bos nyariin kamu, tuh," katanya sambil setengah berbisik.

Aku tersentak kecil. "Serius? Aku kan cuma makan siang..."

Rani mengedipkan mata dengan gaya konspiratif. "Dengan siapa makannya?"

Aku berusaha bersikap setenang mungkin. "Sendiri," jawabku cepat. Sepersekian detik kemudian, aku menyesal karena jawabanku terdengar terlalu defensif.

Rani menatapku dengan mata menyipit, jelas tak percaya. Tapi sebelum dia sempat mengorek lebih jauh, suara ketukan sepatu di lantai membuat kami berdua menoleh.

Bos besar kami, Pak Ronald, berdiri di sana, ekspresinya kaku.

"Amelia, Mateo, ke ruang meeting. Sekarang."

Aku dan Mateo—yang entah sejak kapan sudah kembali ke mejanya—langsung saling melirik sejenak sebelum bangkit. Seketika, suasana santai yang tadi kami rasakan lenyap begitu saja, tergantikan dengan ketegangan yang familiar.

Di ruang meeting, Pak Ronald langsung to the point. Ia menunjukkan grafik performa proyek terbaru yang, sayangnya, belum sesuai target.

Lihat selengkapnya